Kondisi Islam pada era kemunculan Taqli
d
Oleh :
1. Agus Setiawan (2105130)
2. Muhaifin Agus Sulthoni(2105130)
3. Ilyas Nur Kholis (2105130)
Dosen Pengampu Mata Kuliah
Study FIQH:
Anang
Wahid Cahyono .LC.MHI
Tarbiyah,
Program Study Pendidikan Bahasa Arab
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Ponorogo 2013/2014
Bab 1 Pendahuluan
Periode taqlid adalah
periode dimana semangat ijtihad mutlak para ulama sudah pudar dan berhenti.
Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok tasyri’, dalam rangka menggali
hukum-hukum dari teks al-Quran dan Sunnah dan semangat mengistimbatkan
hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya dari nash
dengan menggunakan dalil-dalil syara’, sudah pudar dan berhenti. Mereka hanya
mengikuti hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu.
Periode taqlid mulai
sekitar pertengahan abad 4 H/10 M. Pada
masa ini pula terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kebangkitan umat Islam
dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau
perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Semangat kebebasan dan
kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan
al-Quran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah
merasa puas dengan berpegang kepada fiqh imam-imam mujtahid terdahulu, yakni
Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan rekan-rekannya. Mereka
mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk memahami kata-kata dan
ungkapan-unkapan para imam mujtahid mereka. Dan mereka tidak berusaha
mencurahkan segenap kemampuannya untuk memahami nash-nash syariat dan
prinsip-prinsipnya yang umum.
Orang awam yang tidak mampu menggali hukum
Islam sendiri atau belum sampai pada tingkatan sanggup mengistinbatkan sendiri
hukum-hukum Islam, maka diperbolehkan bagi mereka mengikuti pendapat-pendapat
dari para mujtahid yang dipercayainya. Dalam makalah ini penulis mencoba
menguraikan tentang “Taqlid yang meliputi pengertian dan hukum-hukumnya,
serta syarat-syarat dan sebab terjadinya.
2. Rumusan
Masalah
1. Penjelasan
tentang taqlid, asal usul serta sejarah kemunculan taqlid?
2. Hal-hal
yang melatarbelakangi kemunculan taqlid di kalangan para fuqaha?
Bab II Pembahasan
A.
Pengertian Taqlid
1. Pengertian
dan Hukum Taqlid
Hakekat taqlid menurut
ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu sesuatu
yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh
penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi
hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah
menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.1
Taqlid artinya mengikut
tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu
menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama
dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima
cara tersebut disebut muqallid.2
Mengenai hukum taqlid
ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid yang diperbolehkan dan taqlid yang
dilarang atau haram.3
a. Taqlid
yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum
sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat Sunnah,
serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.
b. Taqlid
yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai
tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum
syariat.
Catatan
.
1. Yusuf
Al-Qaradhawi, Berinteraksi Dengan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani , (Jakarta
: Pustaka Al- Kautsar, 2003), hal. 87.
2. Nazar
Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
cet. 4, 2003), hal. 61.
3. Khairul Umam dan
A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet.
2, 2001), hal. 155.
B. Tumbuhnya
Jiwa Taqlid, Kegiatan Fuqaha dalam Periode Taqlid
Periode berlangsung dari
abad 10 / 11 M sampai abad 19 M, yaitu pada akhir Khalifah Abbasiyyah. Periode
ini disebut taqlid karena para fuqaha pada zaman ini tidak dapat membuat
sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada
seperti madzhab Hanbali.1
menurut
bahasa adalah mengikuti orang lain tanpa berpikir. Sedangkan taqlid secara
syara’ adalah melaksanakan pendapat orang lain tanpa disertai hujjah yang kuat.
Misalnya orang awam yang mengambil pendapat seorang mujtahid, atau seorang
mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lain.
-
Asal Usul Istilah. Periode
ini disebut sebagai periode Taqlid karena para fuqoha pada zaman ini tidak
dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang
sudah ada, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta madzhab
lain yang sudah mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan
ilmu-ilmu syar’i yang lainnya.
- Sejarah Kemunculan Taqlid. Bagi orang
yang mengamati perjalanan syariat islam pada fase ini, tentu akan mendapati
bahwa jiwa kemandirian sebagian para fuqoha sudah mati dan beralih kepada
taklid , tanpa ada semangat untuk mencari terobosan dan kreatifitas baru.
Mereka
telah meletakkan diri pada ruang yang sempit ,yaitu ruang madzhab yang tidak
boleh dilewati apalagi dilompati, sehingga mereka hanya ikut-ikutan( Taqlid)
saja.
Walaupun fase ini penuh dengan semangat taqlid, namun sebenarnya masih ada beberapa ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan mengistinbatkan hukum seperti pendahulu mereka. Akan tetapi, mereka sudah menutup celah itu dan merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya yaitu para ulama mazhab. Hal itu disebabkan tingkat ketakwaan dan ke-wara’ an mereka sehingga lebih memilih berputar diatas bahtera fiqih yang sudah ada. Diantara ulama-ulama tersebut adalah Abu Al Hasan Al Karkhi, Abu Bakar Ar-Razi dari kalangan mazhab Hanafi, Ibnu Rusyd Al Qurthubi dari mazhab Maliki, Al Juwaini Imam Al Haramain dan Al Ghazali dari kalangan mazhab Syafi’i.2
Walaupun fase ini penuh dengan semangat taqlid, namun sebenarnya masih ada beberapa ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan mengistinbatkan hukum seperti pendahulu mereka. Akan tetapi, mereka sudah menutup celah itu dan merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya yaitu para ulama mazhab. Hal itu disebabkan tingkat ketakwaan dan ke-wara’ an mereka sehingga lebih memilih berputar diatas bahtera fiqih yang sudah ada. Diantara ulama-ulama tersebut adalah Abu Al Hasan Al Karkhi, Abu Bakar Ar-Razi dari kalangan mazhab Hanafi, Ibnu Rusyd Al Qurthubi dari mazhab Maliki, Al Juwaini Imam Al Haramain dan Al Ghazali dari kalangan mazhab Syafi’i.2
Dari
penjelasan diatas, dapat kita ketahui bahwa ada sebagian fuqoha yang memiliki
kapasitas untuk memahami, beristinbat, dan berijtihad secara mutlak, namun
mereka lebih memilih untuk ber-taklid dan mengikat pikiran mereka dengan semua
prinsip serta masalah cabang yang ada dalam mazhab.3 Adapun sebab
terjadinya taqlid adalah sebagai berikut:
1) Pembukuan
Kitab Mazhab
Dalam
pembahasan sebelumnya, kita telah membahas bahwa kebangkitan fiqh Islam telah
ditandai dengan telah ditulisnya fiqh Islam serta dijadikan rujukan dalam
menjawab semua persoalan yang dihadapi masyarakat sehingga sangat mudah untuk
diketahui secara cepat. Sehingga hal tersebut membuat para ulama pada periode
ini tidak mempunyai keinginan untuk berijtihad lagi.
2) Fanatisme
Mazhab
Para
ulama pada masa ini sibuk dengan menyebarkan ajaran mazhab dan mengajak orang
lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha tertentu. Bahkan sampai
kepada tingkat di mana seseorang tidak berani berbeda pendapat dengan imamnya,
seakan keberadaan semuanya ada pada sang guru kecuali beberapa ulama yang tidak
ikut-ikutan seperti Abu Al-Hasan Al-Kurkhiy dari ulama Hanafiyah, bahkan ada
yang berani mengatakan,”Setiap ayat yang bertentangan dengan pendapat mazhab
kami maka ayat itu perlu ditakwilkan atau dihapuskan,” termasuk juga hadis Nabi.
Inilah bentuk pemikiran yang tersebar pada saat itu yang disebabkan oleh
loyalitas kepada imam secara berlebihan , yang kemudian menutup mata mereka
dari Ijtihad.4
3) Jabatan
Hakim
Para
khalifah biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali kepada mereka yang
memang mampunyai kemampuan dalam bidang ilmu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
SAW serta memiliki kemampuan untik berijtihad dan menggali hukum. Dan manhaj
para khalifah dalam meminta para hakim agar dalam memutuskan perkara harus
berdasarkan kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan logika yang dekat dengan
kebenaran. Namun , ketika kondisi sosial sudah berubah bersama pergeseran
waktu, para khalifah lebih mengutamakan para hakim yang hanya bisa bertaqlid,
ikut pada mazhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh khalifah. Inilah salah
satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai hakim harus mengikuti
salah satu mazhab dan tidak melangkahinya.
4) Ditutupnya
Pintu Ijtihad
Petaka
besar menimpa Fiqih Islam pada periode ini, dimana kesucian ilmu ternodai,
orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan mereka sangat jauh dari
pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil Fiqih yang pada akhirnya mereka
berbicara tentang agama tanpa Ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama
untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan abad keempat hijriah agar mereka
mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan menyelamatkan
masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan. Akan tetapi sangat disayangkan,
larangan ini telah memberi efek yang negatif terhadap Fiqih Islam sehingga
menjadi jumud dan ketinggalan zaman. Seharusnya para fuqoha periode ini
meletakkan beberapa aturan yang bisa digunakan untuk membantah pendapat ulama gadungan
tersebut. Salah satunya dengan menjelaskan dalil dan bukti yang menyingkap aib
mereka didepan orang banyak, dan melarang masyarakat untuk mengikutinya karena
fatwa mereka tanpa ilmu dan menyesatkan dan bukan menutup pintu ijtihad.
Andaikan hal ini mereka lakukan , niscaya mereka telah memberikan kontribusi
positif terhadap perkembangan fiqih Islam dan lebih baik dari pada menutup
pintu ijtihad sama sekali.
Walaupun
sebetulnya banyak faktor yang membuat para ulama berhenti melakukan ijtihad
mutlak dan mengembangkan hukum-hukum syari’at dari sumber-sumbernya yang
pertama, namun tidaklah berarti bahwa mereka juga mandek dan berhenti
kesungguhannya dalam upaya pembentukan hukum dilingkungan daerah mereka yang
terbatas. Oleh karena itu, para ulama pada tiap-tiap mazhab bisa dibagi menjadi
beberapa level atau tingkatan,
Dengan
demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa kesungguhan aktivitas para ulama dalam
pembentukan hukum pada periode ini adalah mencurahkan perhatiannya kepada
pendapat-pendapat dan hukum-hukum yang sudah dibentuk dan ditetapkan oleh para
imam mazhab mereka. Mereka membatasi diri mereka hanya pada pembahasan mengenai
pendapat-pendapat imam mazhab mereka dan illat-illat yang mereka jadikan dasar
pertimbangan, serta mereka mentarjih, menetapkan mana pendapat yang lebih kuat
diantara pendapat imam mazhab mereka yang kelihatan kontradiksi antara satu
dengan yang lainnya.
Pada
periode sebelumnya, umat islam yang bertaklid hanya kalangan awam, sedang para
tokoh imam mereka hanya ditaklidi. Akan tetapi pada periode ini seluruh umat
Islam menjadi pentaqlid. Para ulama telah lupa apa yang pernah diucapkan Abu
Hanifah ketika mengomentari keberadaan ulama fiqih sebelumnya.
“Mereka
ini adalah tokoh-tokoh ulama dan kami juga sama-sama tokoh ulama”
Juga
melupakan apa yang pernah diucapkan imam Malik bin Anas, :
“Tak
ada seorangpun kecuali pendapatnya boleh diambil dan boleh ditinggalkan kecuali
sabda orang ma’sum, Nabi SAW”
Demikian juga mereka
lupa apa yang diucapkan imam Syafi’i,:
“Kalau
hadist itu sudah shahih, maka itulah mazhabku”
Catatan
1.DR. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’
( Sejarah Legislasi Hukum Islam ),diterjemahkan oleh Dr. Nadirsyah Hawari, M.A ( Jakarta: Amzah,
2009 ) hal.34
3.DR. Rasyad Hasan
Khalil, op.cit, hal.35
4.DR. Rasyad Hasan
Khalil, op.cit, hal.62
BAB
III
PENUTUPAN
Kemunculan
taqlid berawal karena para fuqoha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu
yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada, seperti
madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta madzhab lain yang sudah
mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan ilmu-ilmu syar’i
yang lainnya. Dapat kita ketahui bahwa ada sebagian fuqoha yang memiliki
kapasitas untuk memahami, beristinbat, dan berijtihad secara mutlak, namun
mereka lebih memilih untuk ber-taklid dan mengikat pikiran mereka dengan semua
prinsip serta masalah cabang yang ada dalam mazhab. Adapun sebab terjadinya
taqlid adalah sebagai berikut:
Pembukuan
kitab Mazhab, Fanatisme Mazhab, Jabatan hakim, Tertutupnya pintu Ijtihad.
Walaupun sebetulnya banyak faktor
yang membuat para ulama berhenti melakukan ijtihad mutlak dan mengembangkan
hukum-hukum syari’at dari sumber-sumbernya yang pertama, namun tidaklah berarti
bahwa mereka juga mandek dan berhenti kesungguhannya dalam upaya pembentukan
hukum dilingkungan daerah mereka yang terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
As-sayis, Syekh Muhammad
Ali, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995
Tarikh Al-Fiqh
al-Islam, Jakarta : Akademika Presindo, 1996
DR. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’
( Sejarah Legislasi Hukum Islam ),diterjemahkan oleh Dr.Nadirsyah Hawari,
M.A ( Jakarta: Amzah, 2009 )
Jaih Mobarok, Kodifikasi
hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002.
Muh, Dr. Zuhri, Hukum
Islam dalam Lintasan Sejarah, PT. Rajagrafindo Husada, 1996. Cet. 1
Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H, Hukum Islam, (
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002 )
BAB III
KESIMPULAN
Taqlid adalah
mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dari mana asal hujjahnya.
Sedangkan orang yang bertaqlid disebut muqallid. Taqlid muncul ketika kekuasaan
Islam sudah di ambang pintu kehancuran, yaitu pada masa kemunduran. Kemunduran
Islam dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya politik, tertutupnya
ijtihad dan sebagainya.
Pada dasarnya para
ulama jumhur sangat melarang perbuatan taqlid karena hal itu dapat menyebabkan
orang tidak mau berfikir tentang masalah agamanya. Sehingga umat Islam hanya
mencukupkan tentang perkara agamanya itu dengan kitab-kitab karangan para imam
ijtihad. Tapi dalam kalangam umat Islam sendiri tidak ada keharmonisan, hal ini
disebabkan karena masing-masing pengikut mahzab mengklaim bahwa mahzabnya yang
paling benar. Orang yang berpendidikan tinggi dan dianggap mampu untuk
berijtihad sendiri dilarang untuk bertaqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang
awam tapi dengan syarat bahwa ia harus selalu berusaha mencari dasar-dasar
dalilnya. Dan jika ia telah menemukan dasarnya ia harus kembali pada dalil
tersebut, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar