Rabu, 21 September 2016

Metode Penggalian Hukum Islam (Disepakatai Mayoritas Ulama) QIYAS



Metode Penggalian Hukum Islam (Disepakatai Mayoritas Ulama)
QIYAS

Makalah Ini Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Ushul Fiqh Semester Genap




  1. Muhaifin Agus Sulthoni NIM:210513041



Dosen Pengampu:
Isnatin Ulfah, M.HI




 TARBIYAH
PRODI BAHASA ARAB TA .B
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO
APRIL 2014


BABI
 PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang

Pembahasan mengenai fiqh dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan. Berbagai motif dominan munculnya persoalan baru yang dialami manusia, khususnya umat islam dimana saja, terus bermunculan an membutuhkan penyelesaian serta kepastian hukum, sementara teks – teks sumber syariat seperti Al-Quran dan Assunah telah terhenti sejak Rosulullh SAW pembawa risalah ilahi telah menghadap sang Pencipta. Mengantisipasi atas berbagai persoalan baru yang belum di temukan jawabanya, secara tuntas dan spesifik tersebut, para ulama dan khusunya ahli hukum islam berupaya dengan keras dan terus menerus melakukan ijtihad dengan merujuk langsung kepada sumber- sumber hukum syaria`ah.
Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum Islam. Karenanya dalam perujukan hukum-hukum Islam al-Qur’an haruslah dikedepankan. Bila dalam al-Qur’an tidak ditemukan maka beralih kepada as-Sunah karena as-Sunah adalah penjelas bagi kandungan al-Qur’an. Apabila di dalam as-Sunah tidak ditemukan maka beralih kepada Ijma’ karena sandaran Ijma’ adalah nash-nash al-Qur’an dan as-Sunah. Bila dalam Ijma’ tidak ditemukan maka haruslah merujuk kepada qiyas. Karena qiyas merupakan suatu perangkat untuk melakukan ijtihad.(bersunguh-sungguh dalam menentukan hukum) Dalam posisi ini, qiyas menempati nomer keempat sebagai sumber hukum agama Islam.
            Maka dengan kondisi seperti ini, makalah ini Insallah menjelaskan tentang qiyas dan seluk-beluk sedikit banyak berupa apa yang dinamakan dengan qiyas dan ruang lingkupnya.
B.          Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Qiyas ?
2. Apa saja macam-macam Qiyas ?
3. Bagaimana Kedudukan Qiyas dalam islam ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.        PENGERTIAN QIYAS
Secara etimologi (bahasa), qiyas merupakan bentuk masdar dari kata dalam bahasa arab yaitu: dari fi`il madzi qoosa- fi`il mudzori nya, yaqiisu, (يقيس - قاس)  dan diambil masdar  fi`il tersebut menjadi Qiyas. Yang artinya mengukur atau makna dalam uslubnyayaitu ukuran, mengetahui ukuran sesuatu.1Qiyas merupakan suatu cara penguunaan Ra`yu untuk menggali hukum syara dalam hal-hal yang nash `Al-quran dan Assunah yang tidak menetapkan hukumnya secara jelas.2
Dalam perkembanganya, kata qiyas banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengqiyasan dua buah buku. Atau pengqiyasan secara maknawiyah, misalnya "Fulan tidak bisa diqiyaskan dengan si Fulan", artinya tidak terdapat kesamaan dalam bentuk ukuran.
Adapun arti qiyas secara terminology (istilah) menjadi perdebatan ulama, antara yang mengartikan qiyas sebagai metode penggalian hukum yang harus tunduk pada nash, dan yang mengartikan qiyas sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri di luar nash. Menurut ulama ushul fiqh, Pengertian qiyas secara terminologi sebagaimana yang dipaparkan terdapat beberapa definisi, diantaranya:
1.Ibnu as-subki
Qiyas ialah menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain  Karena ada kesamaan ‘illah hukum mujtahid yang menyamakan hukumnya.
2. Al-amidi
Qiyas adalah keserupaan antara cabang dan asal pada ‘illah hukum asal menurut pandangan mujtahiddari segi kemestianterdapatnya hukum (asal) tersebut pada cabang.


3. Wahbah az-zuhaili
Qiyas ialah menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nash syara’ tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nash hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi ‘illah hukum.
Walhasil menurut ulama ushulfiqh, qiyas ialah menetapkan hukum dari suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya (muqorrin) kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan '‘Illat antara kedua kejadian atau peristiwa tersebut.3














1. Ahmad Warsono Munawwir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984.) hal.128
2. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I,cet 1. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),  hlm. 170
3.Ibid, hlm-172

Sekalipun terdapat perbedaan pengertian atau redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih diatas, tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyasbukanlah menetapkan hukum dari awal (استنباط الحكم وإنشا ئه) melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (الكشف والإظهارالحكم) pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘Illat4, dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila ‘Illat-nya sama dengan ‘Illat  hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan oleh nash.
Jadi qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seseorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar-benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas.5
B.         Macam – macam qiyas
1.  Qiyas aula (qiyas ini dinamai juga awlawi, qiyas qhat’i) yaitu suatu qiyas yang ‘ilatnya itulah yang mewajibkan hukum.atau dengan kata lain sesuatu qiyas hukum yang diberikan kepada pokok lebih patut diberikan kepada cabang
  2. Qiyas musawi yaitu suatu qiyas yang ilatnya mewajibkan hukum. Atau mengqiyaskan sesuatu keapada sesuatu yang bersamaan kedua-duanya yang patut menerima hukum tersebut. Umpamanya: menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim.                                                                                        
     3. Qiyas adna atau qiyas adwan yaitu mengqiyaskan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan kepada sesuatuyang memang patut menerima hukum itu. Contoh mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhal karena keduanya mengandung ‘ilat yang sama yaitu sama-sama jenis makanan
    4. Qiyas al-‘aksi, tidak adanya hukum karena tidak adanya ‘ilat atau menetapkan lawan hukum sesuatu bagi yang sepertinya karena keduanya itu berlawanan tentang hal ‘ilat.
    6. Qiyas assabri wa taqsim, qiyas yang ditetapka ‘ilatnya sesudah dilakukan penelitian dan peninjauan yang lebih dalam.
    7. Qiyas ‘ilat, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain karena kesamaan ‘ilatantara keduanya membandingkan hukum minuman yang memabukkan kepada khamar.6


















4. Maksudnya, ‘Illat yang ada pada satu nash sama dengan ‘Illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan ‘Illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan/ditentukan oleh nash tersebut.
5. Satria Efendi, Ushul Fiqh,( Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 130.
6. Abdul Karim al-Khatib, Ijtihad hukum islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2005)  hlm. 87.
C.        CONTOH PENGGUNAAN METODE QIYAS
Ketika seorang mujtahid ingin mengetahui hukum yang terdapat pada Bir, Wisky atau Tuak (jenis minuman keras). Kemudian setelah seorang mujtahid merujuk kepada nash al-Qur’an ternyata tidak satu pun nash yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Maka untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas yakni mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah Swt dalam surat al-Maidah ayat: (90-91).
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
Zat yang memabukkan itulah yang menjadi penyebab di haramkannya Khamr. Haramnya meminum khamr tersebut berdasarkan ‘Illat hukumnya yakni memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya yang ‘Illat-nya sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah.
Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir, wisky atau tuak yaitu sama dengan hukum khamr, karena ‘Illat keduanya adalah sama. Kesamaan ‘Illat antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan hukum.
Dalam contoh lain Rasulullah bersabda:
لايرث القاتل
Artinya: “Pembunuh tidak berhak mendapatkan bagian warisan.”
Menurut hasil hasil penelitian mujtahid, yang menjadi ‘Illat tidak berhaknya pembunuh menerima warisan dari harta pewaris yang ia bunuh adalah upaya untuk mempercepat mendapatkan harta warisan dengan cara membunuh. ‘Illat semacam ini terdapat juga kasus seseorang membunuh orang yang telah menentukan wasiat baginya. Oleh sebab itu, pembunuh orang yang berwasiat dikenai hukuman yang sama dengan hukuman orang yang membunuh ahli warisnya, yaitu sama-sama tidak berhak memperoleh harta warisan dan wasiat.7




















7. Abdul Karim Al-Khatib, Ijtihad Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2005). Hal, 97   

D.        Kedudukan Qiyas dalam islam
   Dalam peranannya pada agama  islam, qiyas sebagai hujjah (sumber hukum) islam yang keempat setelah al-Qur’an, al-hadist, dan ijma’. Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa qiyas merupakan salah satu proses ijtihad, maka Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui tentang qiyas dengan benar serta memungkinkan mujtahid untuk memilih hukum asal yang lebih dekat dengan objek.8
Firman Allah SWT:
صَارِبــْـاْلاَلىِ اُوْيَـآفَـاعْــتَــبِــيْــرُوْا 
“hendaklah kamu mengambil I’tibar, hai orang-orang yang berfikiran”
Hadist Nabi SAW :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم
Sesungguhnya Rosulullah SAW ketika beliau hendak mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman beliau bertanya :, “Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara? Mu’adz menjawab : “Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah”. Rasul  bertanya lagi : “Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam Kitab Allah?” Jawab Mu’adz, “Dengan Sunnah Rasul”, Rasul bertanya lagi : “Jika dalam Sunnah juga engkau tidak menemukannya?”, Mu’adz menjawab : Saya akan menggunakan ijtihad dengan nalar (ra’yu) saya. Rasul bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri  utusan dari Rasulullah dengan apa-apa yang diridhoi Rosul-Nya”.
Selain kriteria dalam dali-dalill di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh mujtahid :
-Mengetahui seluruh nash yang menjadi dasar hukum asal beserta illatnya untuk dapat menghubungkan dengan hukum furu’(cabang).
-Mengetahui aturan-aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidak boleh mengqiyaskan dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya, serta sifat-sifat illat sebagai dasar qiyas dan faktor yang menghubungkan dengan furu’.
-Mengetahui metode yang dipakai oleh ulama salafyang shaleh dalam mengetahui illat-illat hukum dan sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian hukum fiqih.
-Seorang mujtahid harus mengetahui syarat-syaratnya yang mu’tabar , karena hal ini menjadi kaidah ijtihad dan sebagai alat yang dapat mengantarkannya sampai pada hukum-hukum yang rinci.9





















8. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 150.
9. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, hlm. 154. Lihat pula Satria Efendi, Ushul Fiqh ,(Jakarta: Pranada Media 2005). hal. 131.
Namun, jika kita tilik sumber lain maka akan terdapat sedikit perbedaan dalam kehujjahan qiyas ini karena ternyata para ulama masih banyak yang berbeda pandangan mengenai kehujjahan ini, berikut yang telah diringkas :
Jumhur ulama Ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil hukum berlandaskan surat Al-Hasyr : 2 diatas dan An-Nisa : 59 yang mana surat ini terdapat urutan pengambilan hukum, yaity menaati Allah (hukum dan Al-Qur’an), Rasulnya (hukum dan sunnah), dan mentaati pemimpin (hasil ijtihad para ulama), serta para jumhur ulama ini juga mengambil rujukan sumber hukumnya berdasarkan peristiwa Muadz bin Jabal ketika akan diutus menjadi qodhi di Yaman.
Sebagian ulama Syiah dan segolongan dari ulama Mu’tazilah seperti An-Nazzamjuga ulama Dzaririyah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah. Alasannya karena semua peristiwa sudah ada ketentuannya dalam Qur’an dan sunnah baik yang yang ditunjukkan nash dengan kata-katanya atau pun tidak seperti syarat nash (hukum yang tersirat).
Al-Kuffalusysyasyi, dari Syafi’iyah dan Abdul Hasan Al-Bishri dari mu’tazilah, keduanya berpendapat bahwa hukum melalui qiyas wajib kita lakukan secara agama atau syari’at.10
E.        RUKUN-RUKUN QIYAS
1)  Al-Ashlu11(الأصل) ,Para fuqaha mendefinisikan al-Ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya al-Maqîs 'Alaihi (مقيس عليه) dan Musyabbah Bih  (مشبه به) yaitu tempat menyerupakan, juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash (al-Qur’an Hadits, Ijma’). Misalnya, Khamar yang ditegaskan keharamannya dalam surat al-maidah: 90.
Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyas dari minuman keras adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharmannya, Dengan demiklian maka al-Ashlu adalah objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.
sebagaimana yang dikutip Satria Efendi mengemukakan beberapa syarat al-Ashlu antara lain:
a)       Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok (Ashal). Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (Mansukh) di masa Rasulullah, maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.
b)      Hukum yang terdapat pada Ashal itu hendaklah hukum syara’
c)       Hukum Ashl bukan merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa orang yang lupa, meskipun makan dan minum.
















      10. Muhammad Roy, Ushul Fiqh Mazhab dalam Qiyas Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Safarina Insania Press 2004) , hlm. 55.
     11. Al-ashlu terkadang disebut juga dengan istilah مقيس عليه, yaitu tempat mengqiyaskan sesuatu, atau disebut juga محل الحا كم المشبه به, yaitu tempat yang di dalamnya terdapat hukum yang akan disamakan hukumnya kepada tempat lain. Ia suatu saat juga disebut denganدليل الحكم

 2)  Adanya hukum Ashal (حكم الأصل), yaitu hukum syara’ yang terdapat pada Ashal yang hendak ditetapkan pada Far’u (cabang) dengan jalan qiyas. Syarat-syarat hukum ashal menurut Abu Zahrah, antara lain:
a)     Hukum ashal hendaknya hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, karena yang menjadi kajian ushul fiqh adalah hukum yang menyangkut amal perbuatan.
b)    Hukum ashal dapat ditelususri ‘‘Illat hukumnya, seperti hukum haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan, yaitu karena memabukkan. Bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui ‘‘Illat hukumnya (غير معقول معنى), seperti masalah bilangan makna.
c)     Hukum ashal itu lebih dahulu disyari’atkan dari Far’u, dalam hal ini tidak boleh mengqiyaskan wudhu dengan tayamum, sekalipun ‘‘Illat-nya sama, karena syari’at wudhu dahulu turunnya dari pada tayamum.12
3)    Far’u (فرع)13 yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam al-Qur’an, Sunnah, atau Ijma’ yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas.  
Para ulama Ushul Fiqh mengemukakan empat syarat yang harus dipenuhi:
a.      ‘Illat-nya sama dengan ‘Illat yang ada pada nash, baik pada zatnya maupun pada jenisnya, contoh ‘‘Illat yang sama zatnya adalah mengqiyaskan wisky pada khamar, karena keduanya sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum hukumnya haram. ‘‘Illat yang ada pada wisky sama zat atau materinya dengan ‘‘Illat yang ada pada khamar. Contoh yang jenisnya sama adalah mengqiyaskan wajib qishas atas perbuatan sewenag-wenang terhadap anggota badan kepada qishash dalam pembunuhan, karena keduanya sama-sama perbuatan pidana.
b.     Hukum ashal tidak berubah setelah diqiyaskan.
c.      Hukum Far’u tidak mendahului hukum ashal, artinya hukum Far’u itu harus datang kemudian dari hukum ashl.


d.     Tidak ada nash atau’Ijma yang menjelaskan hukum Far’u, artinya tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum Far’u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma’.



















12. Satria Efendi, Ushul Fiqh,(Jakarta: Prenada Media 2005) hal. 134.
13. Istilah Far’u, terkadang disebut juga dengan ashl, atau محل المشبه, yaitu tempat yang hukumnya diserupakan dengan yang lain, dan ada juga yang menyebut حكم المحل المشبه, yaitu hukum dari tempat yang disamakan. Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,(Jakarta: Logos wacana Ilmu1997) hlm. 177.
4)  ‘‘Illat (علة)
a. Pengertian ‘Illat
      Secara etimologi, ‘Illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain.14 Misalnya, memabukkan adalah sifat yang ada pada khamar yang menjadi dasar pengharamannya, dengan adanya sifat memabukkan inilah diketahui pengharaman terhadap semua minuman keras yang memabukkan.
      Secara terminologi, terdapat beberapa definisi ‘Illat yang dikemukakan ulama ushul fiqh. Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian ulama Hanbaliyah dan Imam Baidhawi (tokoh ushul fiqh Syafi’iyyah), merumuskan definisi ‘Illat sebagai berikut:
العلة هي : الوصف المعرف للحكم
‘Illat ialah; “Suatu sifat (yang berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum.”
Maksud sebagai pengenal bagi suatu hukum ialah, apabila terdapat suatu ‘Illat pada sesuatu, maka hukum pun ada, karena dari keberadaan ‘Illat itulah hukum itu dikenal. Kalimat ‘sifat pengenal’ dalam rumusan definisi tersebut, menurut mereka, sebagai tanda atau indikasi keberadaan suatu hukum.
b.    Syarat-Syarat ‘‘Illat
Para Ulama ushul Fiqh mengemukakan sejumlah syarat ‘Illat yang dapat dijadikan sebagai sifat dalam menentukan suatu hukum, diantaranya adalah:
1)     ‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum. Maksudnya, fungsi ‘Illat adalah bagian dari tujuan disyari’atkannya hukum, yaitu untuk kemaslahatan umat manusia.
2)     ‘Illat itu adalah suatu sifat yang jelas, nyata (ظاهره) dan dapat ditangkap indera manusia. Karena ‘Illat merupakan pertanda adanya hukum. Contohnya: sifat memabukkan bagi haramnya khamar dan minuman keras lainnya. Sifat memabukkan itu jelas, dapat disaksikan dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan lain. Karena jelasnya, maka ‘Illat itu dapat diketahui hubungannya dengan hukum.
3)       ‘Illat itu dapat diukur dan berlaku untuk semua orang. Maksudnya, ‘Illat itu memiliki hakikat tertentu dan terbatas, berlaku untuk setiap orang dan keadaan. Misalnya, pembunuhan merupakan ‘Illat yang menghalangi seseorang mendapatkan harta warisan dari orang yang dibunuh. ‘Illat ini bisa diterapkan kepada pembunuh dalam kasus wasiat.
4)       ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum Ashl. Maksudnya, hukumnya telah ada, baru datang ‘Illat-nya.15



















14. ibid. hal.135
15 .Abdul Wahhab Khallaf ,ilmu ushul fiqh, (Semarang: Dina Utama 1994) hal,79
BAB III
PENUTUP

 A.     KESIMPULAN
Jadi jelas sekali bahwa Qiyas sangat penting untuk kita bahas karena ia merupakan sumber hukum islam yang keempat. Qiyas menurut bahasa atinya ukuran. Menurut istilah qiyas adalah hukum yang telah tetap dalam suatu benda atau perkara, kemudian diberikan kepada suatu benda atau perkara lain yang dipandang memiliki asal, cabang, sifat, dan hukum yang sama dengan suatu benda atau perkara yang telah tetap hukumnya.
             Qiyas juga merupakan suatu cara penggunaan ra’yu(pendapat) untuk menggali hukum syara’ dalam hal-hal yang nash al-Qur’an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Keterkaitan dengan qiyas sangad erat sekali dengan hukum dan sebab. Para ulama`pun juga sepakat bahwa qiyas merupakan Hujjah Syar’iyyah(sebagi alasan /sebagai sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang ada di dalam ajaran agama islam dalam penetapan suatu hukum. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara qiyas dengan persamaan Illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syari’.
      Adapun macam-macam qiyas diantaranya qiyas aula atau yang mewajibkan suatu hukum, qiyas musawi, qiyas Adna, qiyas Al` aksi, qiyas Assabri wa taqsim dan qiyas ilat atau yang biasa disebut dengan membandingkan sesuatu kepada yang lain dikarenakanterdapat kesamaan.
     Dalam kedudukanya / peranannya pada agama  islam, qiyas sebagai hujjah (sumber hukum) islam yang keempat setelah al-Qur’an, al-hadist, dan ijma’. Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa qiyas merupakan salah satu proses ijtihad, maka Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui tentang qiyas dengan benar serta memungkinkan mujtahid untuk memilih hukum asal yang lebih dekat dengan objek
Dengan qiyas pula umat Islam dapat merancang dan mencari solusi dari persoalan kehidupan yang berdasarkan dari penjelasan teks-teks agama. Jika tidak demikian, umat Islam justru akan terjebak dalam wilayah yang sama-sama ‘menyesatkan’ sehingga umat Islam akan; menetapkan keputusan semua persoalan yang dihadapi berdasar hawa nafsu tanpa tahu persis yang sebenarnya, umat Islam akan mengalami stagnansi tidak melangkah lebih maju.
Karena itu, kita sebagai insan yang bermanhaj ahlussunah waljamaah seharusnya bisa menerima pandangan orang-orang yang menerima otoritas tentang adanya qiyas tersebut dalam penetapan hukun dalam islam, bukan untuk menjadikan pertentangan dalam ikhtifal perbedaan manhaj, dan bukan untuk kepentingan golongan akan tetapi demi terwujudnya kemaslahatan umat.wallohu a`lam,.

















DAFTAR PUSTAKA

·         Abdul Karim al-Khatib., Ijtihad; Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
·         Abdul Wahhab Khallaf., Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
·         Amir Syarifuddin., Ushul Fiqh Jilid I,cet 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
·         Effendi, Satria.,Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
·         Muhammad Roy., Ushul Fiqh Madzhab, Aristoteles, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004.
·         Warsono, Ahmad., Kamus AL-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984















Tidak ada komentar:

Posting Komentar