Metode
Penggalian Hukum Islam (Disepakatai Mayoritas Ulama)
QIYAS
Makalah Ini Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Ushul Fiqh Semester Genap
- Muhaifin Agus Sulthoni NIM:210513041
Dosen Pengampu:
Isnatin Ulfah, M.HI
TARBIYAH
PRODI BAHASA ARAB TA .B
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONOROGO
APRIL 2014
BABI
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pembahasan mengenai fiqh dari waktu ke
waktu terus mengalami perkembangan. Berbagai motif dominan munculnya persoalan
baru yang dialami manusia, khususnya umat islam dimana saja, terus bermunculan
an membutuhkan penyelesaian serta kepastian hukum, sementara teks – teks sumber
syariat seperti Al-Quran dan Assunah telah terhenti sejak Rosulullh SAW pembawa
risalah ilahi telah menghadap sang Pencipta. Mengantisipasi atas berbagai
persoalan baru yang belum di temukan jawabanya, secara tuntas dan spesifik
tersebut, para ulama dan khusunya ahli hukum islam berupaya dengan keras dan
terus menerus melakukan ijtihad dengan merujuk langsung kepada sumber- sumber
hukum syaria`ah.
Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum
Islam. Karenanya dalam perujukan hukum-hukum Islam al-Qur’an haruslah
dikedepankan. Bila dalam al-Qur’an tidak ditemukan maka beralih kepada as-Sunah
karena as-Sunah adalah penjelas bagi kandungan al-Qur’an. Apabila di dalam as-Sunah
tidak ditemukan maka beralih kepada Ijma’ karena sandaran Ijma’ adalah
nash-nash al-Qur’an dan as-Sunah. Bila dalam Ijma’ tidak ditemukan maka
haruslah merujuk kepada qiyas. Karena qiyas merupakan suatu perangkat untuk
melakukan ijtihad.(bersunguh-sungguh dalam menentukan hukum) Dalam posisi ini,
qiyas menempati nomer keempat sebagai sumber hukum agama Islam.
Maka dengan kondisi seperti ini, makalah ini Insallah menjelaskan tentang qiyas
dan seluk-beluk sedikit banyak berupa apa yang dinamakan dengan qiyas dan ruang
lingkupnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud
dengan Qiyas ?
2. Apa saja macam-macam
Qiyas ?
3. Bagaimana Kedudukan
Qiyas dalam islam ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN QIYAS
Secara
etimologi (bahasa), qiyas merupakan bentuk masdar dari kata dalam bahasa arab
yaitu: dari fi`il madzi qoosa- fi`il mudzori nya, yaqiisu, (يقيس - قاس)
dan diambil masdar fi`il tersebut menjadi Qiyas. Yang artinya mengukur
atau makna dalam uslubnyayaitu ukuran, mengetahui ukuran sesuatu.1Qiyas merupakan suatu cara penguunaan Ra`yu
untuk menggali hukum syara dalam hal-hal yang nash `Al-quran dan
Assunah yang tidak menetapkan hukumnya secara jelas.2
Dalam
perkembanganya, kata qiyas banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya
penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi,
seperti pengqiyasan dua buah buku. Atau pengqiyasan secara maknawiyah, misalnya
"Fulan tidak bisa diqiyaskan dengan si Fulan", artinya tidak terdapat
kesamaan dalam bentuk ukuran.
Adapun
arti qiyas secara terminology (istilah) menjadi perdebatan ulama, antara yang
mengartikan qiyas sebagai metode penggalian hukum yang harus tunduk pada nash,
dan yang mengartikan qiyas sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri di luar
nash. Menurut ulama ushul fiqh, Pengertian qiyas secara terminologi sebagaimana
yang dipaparkan terdapat beberapa definisi, diantaranya:
1.Ibnu as-subki
Qiyas ialah menyamakan
hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain Karena ada kesamaan ‘illah
hukum mujtahid yang menyamakan hukumnya.
2. Al-amidi
Qiyas adalah keserupaan
antara cabang dan asal pada ‘illah hukum asal menurut pandangan mujtahiddari
segi kemestianterdapatnya hukum (asal) tersebut pada cabang.
3. Wahbah az-zuhaili
Qiyas ialah
menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nash syara’ tentang hukumnya
dengan suatu masalah yang terdapat nash hukumnya, karena adanya persekutuan
keduanya dari segi ‘illah hukum.
Walhasil menurut ulama
ushulfiqh, qiyas ialah menetapkan hukum dari suatu kejadian atau peristiwa yang
tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya (muqorrin) kepada suatu
kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash karena ada persamaan '‘Illat antara kedua kejadian atau peristiwa
tersebut.3
1. Ahmad Warsono Munawwir, Kamus
al-Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984.) hal.128
2. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh
Jilid I,cet 1. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 170
3.Ibid, hlm-172
Sekalipun terdapat
perbedaan pengertian atau redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para
ulama ushul fiqih diatas, tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses
penetapan hukum melalui metode qiyasbukanlah menetapkan hukum dari awal (استنباط الحكم وإنشا ئه) melainkan hanya
menyingkapkan dan menjelaskan hukum (الكشف
والإظهارالحكم) pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.
Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan
teliti terhadap ‘Illat4,
dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila ‘Illat-nya sama dengan ‘Illat
hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang
dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan oleh nash.
Jadi
qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada
satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Karena itu
tugas pertama yang harus dilakukan oleh seseorang yang akan melakukan qiyas,
ialah mencari apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum
dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar-benar tidak ada nash
yang dimaksud barulah dilakukan qiyas.5
B.
Macam – macam qiyas
1. Qiyas
aula (qiyas ini dinamai juga awlawi, qiyas qhat’i) yaitu suatu qiyas
yang ‘ilatnya itulah yang mewajibkan hukum.atau dengan kata lain sesuatu qiyas
hukum yang diberikan kepada pokok lebih patut diberikan kepada cabang
2. Qiyas musawi yaitu suatu qiyas yang
ilatnya mewajibkan hukum. Atau mengqiyaskan sesuatu keapada sesuatu yang
bersamaan kedua-duanya yang patut menerima hukum tersebut. Umpamanya: menjual
harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak
yatim.
3. Qiyas adna atau qiyas adwan yaitu mengqiyaskan sesuatu yang
kurang patut menerima hukum yang diberikan kepada sesuatuyang memang patut
menerima hukum itu. Contoh mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya
riba fadhal karena keduanya mengandung ‘ilat yang sama yaitu sama-sama jenis
makanan
4. Qiyas
al-‘aksi, tidak adanya hukum karena tidak adanya ‘ilat atau menetapkan
lawan hukum sesuatu bagi yang sepertinya karena keduanya itu berlawanan tentang
hal ‘ilat.
6. Qiyas
assabri wa taqsim, qiyas yang ditetapka ‘ilatnya sesudah dilakukan
penelitian dan peninjauan yang lebih dalam.
7. Qiyas
‘ilat, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain karena
kesamaan ‘ilatantara keduanya membandingkan hukum minuman yang memabukkan
kepada khamar.6
4. Maksudnya, ‘Illat yang
ada pada satu nash sama dengan ‘Illat yang ada pada kasus yang sedang
dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan ‘Illat ini, maka hukum kasus
yang sedang dihadapi disamakan/ditentukan oleh nash tersebut.
5. Satria Efendi, Ushul Fiqh,(
Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 130.
6. Abdul Karim al-Khatib, Ijtihad hukum islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama,2005) hlm. 87.
C. CONTOH PENGGUNAAN METODE QIYAS
Ketika
seorang mujtahid ingin mengetahui hukum yang terdapat pada Bir, Wisky atau Tuak
(jenis minuman keras). Kemudian setelah seorang mujtahid merujuk kepada nash
al-Qur’an ternyata tidak satu pun nash yang dapat dijadikan sebagai dasar
hukumnya. Maka untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas yakni
mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu
perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah Swt dalam surat
al-Maidah ayat: (90-91).
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
“Sesungguhnya syaitan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
Zat yang memabukkan
itulah yang menjadi penyebab di haramkannya Khamr. Haramnya meminum khamr
tersebut berdasarkan ‘Illat hukumnya yakni memabukan. Maka setiap
minuman yang terdapat di dalamnya yang ‘Illat-nya sama dengan khamar
dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah.
Dengan demikian,
mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir, wisky atau tuak yaitu sama
dengan hukum khamr, karena ‘Illat keduanya adalah sama. Kesamaan ‘Illat
antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya
menyebabkan adanya kesatuan hukum.
Dalam contoh lain
Rasulullah bersabda:
لايرث
القاتل
Artinya: “Pembunuh
tidak berhak mendapatkan bagian warisan.”
Menurut hasil hasil
penelitian mujtahid, yang menjadi ‘Illat tidak berhaknya pembunuh
menerima warisan dari harta pewaris yang ia bunuh adalah upaya untuk
mempercepat mendapatkan harta warisan dengan cara membunuh. ‘Illat
semacam ini terdapat juga kasus seseorang membunuh orang yang telah menentukan
wasiat baginya. Oleh sebab itu, pembunuh orang yang berwasiat dikenai hukuman
yang sama dengan hukuman orang yang membunuh ahli warisnya, yaitu sama-sama
tidak berhak memperoleh harta warisan dan wasiat.7
7. Abdul Karim
Al-Khatib, Ijtihad Hukum Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama,2005). Hal, 97
D.
Kedudukan Qiyas dalam islam
Dalam
peranannya pada agama islam, qiyas sebagai hujjah (sumber
hukum) islam yang keempat setelah al-Qur’an, al-hadist, dan ijma’. Seperti yang
sudah kita ketahui, bahwa qiyas merupakan salah satu proses ijtihad, maka Imam
Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan
qiyas. Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui tentang qiyas dengan benar
serta memungkinkan mujtahid untuk memilih hukum asal yang lebih dekat dengan
objek.8
Firman Allah SWT:
صَارِبــْـاْلاَلىِ اُوْيَـآفَـاعْــتَــبِــيْــرُوْا
“hendaklah kamu mengambil I’tibar, hai orang-orang yang berfikiran”
“hendaklah kamu mengambil I’tibar, hai orang-orang yang berfikiran”
Hadist Nabi SAW :
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم
Sesungguhnya Rosulullah
SAW ketika beliau hendak mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman beliau bertanya :, “Dengan cara apa engkau menetapkan hukum
seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara? Mu’adz menjawab : “Saya menetapkan
hukum berdasarkan Kitab Allah”. Rasul bertanya lagi : “Bila engkau tidak
menemukan hukumnya dalam Kitab Allah?” Jawab Mu’adz, “Dengan Sunnah Rasul”,
Rasul bertanya lagi : “Jika dalam Sunnah juga engkau tidak menemukannya?”, Mu’adz
menjawab : Saya akan menggunakan ijtihad dengan nalar (ra’yu) saya. Rasul
bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri
utusan dari Rasulullah dengan apa-apa yang diridhoi Rosul-Nya”.
Selain kriteria dalam
dali-dalill di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh mujtahid :
-Mengetahui seluruh
nash yang menjadi dasar hukum asal beserta illatnya untuk dapat menghubungkan
dengan hukum furu’(cabang).
-Mengetahui
aturan-aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidak boleh mengqiyaskan dengan
sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya, serta sifat-sifat illat sebagai dasar
qiyas dan faktor yang menghubungkan dengan furu’.
-Mengetahui metode yang
dipakai oleh ulama salafyang shaleh dalam mengetahui illat-illat hukum dan
sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian hukum
fiqih.
-Seorang mujtahid harus
mengetahui syarat-syaratnya yang mu’tabar , karena hal ini menjadi kaidah
ijtihad dan sebagai alat yang dapat mengantarkannya sampai pada hukum-hukum
yang rinci.9
8. Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
hal. 150.
9. Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, hlm. 154. Lihat pula Satria Efendi, Ushul
Fiqh ,(Jakarta: Pranada Media 2005). hal. 131.
Namun, jika kita tilik
sumber lain maka akan terdapat sedikit perbedaan dalam kehujjahan qiyas ini
karena ternyata para ulama masih banyak yang berbeda pandangan mengenai
kehujjahan ini, berikut yang telah diringkas :
Jumhur ulama Ushul,
mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil hukum berlandaskan surat Al-Hasyr :
2 diatas dan An-Nisa : 59 yang mana surat ini terdapat urutan pengambilan
hukum, yaity menaati Allah (hukum dan Al-Qur’an), Rasulnya (hukum dan sunnah),
dan mentaati pemimpin (hasil ijtihad para ulama), serta para jumhur ulama ini
juga mengambil rujukan sumber hukumnya berdasarkan peristiwa Muadz bin Jabal
ketika akan diutus menjadi qodhi di Yaman.
Sebagian ulama Syiah
dan segolongan dari ulama Mu’tazilah seperti An-Nazzamjuga ulama Dzaririyah
tidak mengakui qiyas sebagai hujjah. Alasannya karena semua peristiwa sudah ada
ketentuannya dalam Qur’an dan sunnah baik yang yang ditunjukkan nash dengan
kata-katanya atau pun tidak seperti syarat nash (hukum yang tersirat).
Al-Kuffalusysyasyi,
dari Syafi’iyah dan Abdul Hasan Al-Bishri dari mu’tazilah, keduanya berpendapat
bahwa hukum melalui qiyas wajib kita lakukan secara agama atau syari’at.10
E.
RUKUN-RUKUN QIYAS
1)
Al-Ashlu11(الأصل) ,Para fuqaha mendefinisikan al-Ashlu
sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya al-Maqîs
'Alaihi (مقيس عليه) dan Musyabbah Bih
(مشبه به) yaitu tempat
menyerupakan, juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash (al-Qur’an Hadits, Ijma’). Misalnya, Khamar
yang ditegaskan keharamannya dalam surat al-maidah: 90.
Contoh,
pengharaman ganja sebagai qiyas dari minuman keras adalah dengan menempatkan
minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharmannya, Dengan demiklian
maka al-Ashlu adalah objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu
dikiaskan kepadanya.
sebagaimana
yang dikutip Satria Efendi mengemukakan beberapa syarat al-Ashlu antara
lain:
a)
Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok (Ashal).
Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (Mansukh) di masa
Rasulullah, maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.
b)
Hukum yang terdapat pada Ashal itu hendaklah hukum syara’
c)
Hukum Ashl bukan merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa orang
yang lupa, meskipun makan dan minum.
10.
Muhammad Roy, Ushul Fiqh Mazhab dalam Qiyas Ushul Fiqih, (Yogyakarta:
Safarina Insania Press 2004) , hlm. 55.
11.
Al-ashlu terkadang disebut juga dengan istilah مقيس
عليه, yaitu tempat mengqiyaskan sesuatu, atau
disebut juga محل الحا كم المشبه به, yaitu tempat yang di dalamnya terdapat hukum yang akan
disamakan hukumnya kepada tempat lain. Ia suatu saat juga disebut denganدليل
الحكم
2) Adanya hukum Ashal
(حكم الأصل), yaitu hukum syara’ yang terdapat pada Ashal
yang hendak ditetapkan pada Far’u (cabang) dengan jalan qiyas.
Syarat-syarat hukum ashal menurut Abu Zahrah, antara lain:
a)
Hukum ashal hendaknya hukum syara’ yang berhubungan dengan amal
perbuatan, karena yang menjadi kajian ushul fiqh adalah hukum yang menyangkut
amal perbuatan.
b)
Hukum ashal dapat ditelususri ‘‘Illat hukumnya, seperti hukum
haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan, yaitu karena
memabukkan. Bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui ‘‘Illat
hukumnya (غير معقول معنى), seperti masalah
bilangan makna.
c)
Hukum ashal itu lebih dahulu disyari’atkan dari Far’u, dalam hal
ini tidak boleh mengqiyaskan wudhu dengan tayamum, sekalipun ‘‘Illat-nya
sama, karena syari’at wudhu dahulu turunnya dari pada tayamum.12
3)
Far’u (فرع)13 yaitu
sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam al-Qur’an, Sunnah, atau Ijma’
yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas.
Para
ulama Ushul Fiqh mengemukakan empat syarat yang harus dipenuhi:
a.
‘Illat-nya sama dengan ‘Illat yang ada pada nash, baik pada
zatnya maupun pada jenisnya, contoh ‘‘Illat yang sama zatnya adalah
mengqiyaskan wisky pada khamar, karena keduanya sama-sama memabukkan dan yang
memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum hukumnya haram. ‘‘Illat
yang ada pada wisky sama zat atau materinya dengan ‘‘Illat yang ada pada
khamar. Contoh yang jenisnya sama adalah mengqiyaskan wajib qishas atas
perbuatan sewenag-wenang terhadap anggota badan kepada qishash dalam
pembunuhan, karena keduanya sama-sama perbuatan pidana.
b.
Hukum ashal tidak berubah setelah diqiyaskan.
c.
Hukum Far’u tidak mendahului hukum ashal, artinya hukum Far’u itu
harus datang kemudian dari hukum ashl.
d.
Tidak ada nash atau’Ijma yang menjelaskan hukum Far’u, artinya tidak ada
nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum Far’u dan hukum itu bertentangan
dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas ketika itu bisa
bertentangan dengan nash atau ijma’.
12.
Satria Efendi, Ushul Fiqh,(Jakarta: Prenada Media 2005) hal. 134.
13.
Istilah Far’u, terkadang disebut juga dengan ashl, atau محل المشبه, yaitu tempat yang hukumnya diserupakan
dengan yang lain, dan ada juga yang menyebut حكم المحل
المشبه, yaitu hukum dari tempat yang disamakan. Lihat Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh,(Jakarta: Logos wacana Ilmu1997) hlm. 177.
4)
‘‘Illat (علة)
a.
Pengertian ‘Illat
Secara etimologi, ‘Illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan
berubahnya keadaan sesuatu yang lain.14 Misalnya, memabukkan adalah
sifat yang ada pada khamar yang menjadi dasar pengharamannya, dengan adanya
sifat memabukkan inilah diketahui pengharaman terhadap semua minuman keras yang
memabukkan.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi ‘Illat yang dikemukakan
ulama ushul fiqh. Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian ulama Hanbaliyah dan Imam
Baidhawi (tokoh ushul fiqh Syafi’iyyah), merumuskan definisi ‘Illat
sebagai berikut:
العلة
هي : الوصف المعرف للحكم
‘Illat
ialah; “Suatu sifat (yang berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum.”
Maksud
sebagai pengenal bagi suatu hukum ialah, apabila terdapat suatu ‘Illat
pada sesuatu, maka hukum pun ada, karena dari keberadaan ‘Illat itulah
hukum itu dikenal. Kalimat ‘sifat pengenal’ dalam rumusan definisi tersebut,
menurut mereka, sebagai tanda atau indikasi keberadaan suatu hukum.
b.
Syarat-Syarat ‘‘Illat
Para
Ulama ushul Fiqh mengemukakan sejumlah syarat ‘Illat yang dapat
dijadikan sebagai sifat dalam menentukan suatu hukum, diantaranya adalah:
1)
‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau
indikasi hukum. Maksudnya, fungsi ‘Illat adalah bagian dari tujuan
disyari’atkannya hukum, yaitu untuk kemaslahatan umat manusia.
2)
‘Illat itu adalah suatu sifat yang jelas, nyata (ظاهره) dan dapat ditangkap indera manusia. Karena ‘Illat
merupakan pertanda adanya hukum. Contohnya: sifat memabukkan bagi haramnya
khamar dan minuman keras lainnya. Sifat memabukkan itu jelas, dapat disaksikan
dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan lain. Karena jelasnya, maka ‘Illat
itu dapat diketahui hubungannya dengan hukum.
3)
‘Illat itu dapat diukur dan berlaku untuk semua orang. Maksudnya, ‘Illat
itu memiliki hakikat tertentu dan terbatas, berlaku untuk setiap orang dan
keadaan. Misalnya, pembunuhan merupakan ‘Illat yang menghalangi
seseorang mendapatkan harta warisan dari orang yang dibunuh. ‘Illat ini
bisa diterapkan kepada pembunuh dalam kasus wasiat.
4)
‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum Ashl. Maksudnya, hukumnya
telah ada, baru datang ‘Illat-nya.15
14.
ibid. hal.135
15
.Abdul Wahhab Khallaf ,ilmu ushul fiqh,
(Semarang: Dina Utama 1994) hal,79
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Jadi
jelas sekali bahwa Qiyas sangat penting untuk kita bahas karena ia merupakan
sumber hukum islam yang keempat. Qiyas menurut bahasa atinya ukuran. Menurut
istilah qiyas adalah hukum yang telah tetap dalam suatu benda atau perkara,
kemudian diberikan kepada suatu benda atau perkara lain yang dipandang
memiliki asal, cabang, sifat, dan hukum yang sama dengan suatu benda atau
perkara yang telah tetap hukumnya.
Qiyas juga merupakan suatu cara
penggunaan ra’yu(pendapat) untuk menggali hukum syara’ dalam hal-hal yang nash
al-Qur’an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Keterkaitan dengan
qiyas sangad erat sekali dengan hukum dan sebab. Para ulama`pun juga sepakat
bahwa qiyas merupakan Hujjah Syar’iyyah(sebagi alasan /sebagai sumber hukum yang keempat dari sumber
hukum yang ada di dalam ajaran agama islam dalam penetapan suatu hukum. Apabila
tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan
yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara qiyas dengan persamaan Illat
maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syari’.
Adapun macam-macam qiyas diantaranya qiyas aula atau yang mewajibkan suatu
hukum, qiyas musawi, qiyas Adna, qiyas
Al` aksi, qiyas Assabri wa taqsim dan qiyas ilat atau yang biasa disebut
dengan membandingkan sesuatu kepada yang lain dikarenakanterdapat kesamaan.
Dalam kedudukanya / peranannya pada
agama islam, qiyas sebagai hujjah (sumber
hukum) islam yang keempat setelah al-Qur’an, al-hadist, dan ijma’. Seperti yang
sudah kita ketahui, bahwa qiyas merupakan salah satu proses ijtihad, maka Imam
Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan
qiyas. Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui tentang qiyas dengan benar
serta memungkinkan mujtahid untuk memilih hukum asal yang lebih dekat dengan
objek
Dengan
qiyas pula umat Islam dapat merancang dan mencari solusi dari persoalan
kehidupan yang berdasarkan dari penjelasan teks-teks agama. Jika tidak
demikian, umat Islam justru akan terjebak dalam wilayah yang sama-sama
‘menyesatkan’ sehingga umat Islam akan; menetapkan keputusan semua persoalan
yang dihadapi berdasar hawa nafsu tanpa tahu persis yang sebenarnya, umat Islam
akan mengalami stagnansi tidak melangkah lebih maju.
Karena
itu, kita sebagai insan yang bermanhaj
ahlussunah waljamaah seharusnya bisa menerima pandangan orang-orang yang
menerima otoritas tentang adanya qiyas tersebut dalam penetapan hukun dalam
islam, bukan untuk menjadikan pertentangan dalam ikhtifal perbedaan manhaj, dan bukan untuk kepentingan golongan
akan tetapi demi terwujudnya kemaslahatan umat.wallohu a`lam,.
DAFTAR PUSTAKA
·
Abdul Karim al-Khatib., Ijtihad; Menggerakkan
Potensi Dinamis Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
·
Abdul Wahhab Khallaf., Ilmu Ushul Fiqh,
Semarang: Dina Utama, 1994.
·
Amir Syarifuddin., Ushul Fiqh Jilid I,cet 1.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
·
Effendi, Satria.,Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada
Media, 2005.
·
Muhammad Roy., Ushul Fiqh Madzhab, Aristoteles,
Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004.
·
Warsono, Ahmad., Kamus
AL-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984
Tidak ada komentar:
Posting Komentar