AKSIOLOGI (filsafat Nilai)
Makalah
Ini Ditujukan untuk Memenuhi Tugas (Amanah) Pada Matakuliah
Filsafat
Umum Semester Genap
oleh:
- Moh. Rizal Musataqiem NIM:210513026
- Muhaifin Agus Sulthony NIM: 210513041
Dosen
Pengampu:
Drs. Waris
NIP.
150291747
TARBIYAH
PRODI
BAHASA ARAB TA .B
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO
MARET 2014
DAFTAR ISI MAKALAH
Daftar Isi.................................................................................................................... 1
Kata Pengantar........................................................................................................... 2
BAB I: PENDAHULUAN...................................................................................... 3
- Latar Belakang............................................................................................... 3
- Rumusan masalah........................................................................................... 3
BAB II: PEMBAHASAN........................................................................................ 4
- Pengertian Aksiologi...................................................................................... 4
- Konsep Tentang Nilai.................................................................................... 5
1.Persoalan Aksiologis Dalam Kehidupan Sehari-hari...................................... 6
2.Nilai itu Obyektif atau Subyektif?................................................................. 6
a. Obyektivisme atau Realisme Aksiologi................................................... 7
b. Subyektivisme Aksiologis........................................................................ 7
3.Relasionisme Aksiologis................................................................................ 8
4.Nominalisme atau Skeptisisme (Emotivisme Aksiologis).............................. 8
5.Nilai dan Kebaikan........................................................................................ 9
6.Nilai dan Persepsi........................................................................................... 10
BAB III:
KESIMPULAN....................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 12
KATA
PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah,
dengan segala rasa puji syukur selalu diucapkan kehadirat Allah SWT tuhan
semesta Alam, yang telah memberikan akal dan hati kepada manusia, supaya kita bisa
mensyukirnya setiap waktu. Dan kita selalu memberi salam sejahtera, salam
sholawat kepada Nabi akhiruzaman Rosul Muhammad SAW, kepada
sahabat,keluarga,serta umat yang berittiba` samapai hari qiamat kelak.Allohumma
Amin…
Bahwa pada kesempatan ini kami Alhamdulillah dapat menyelesaikan tugas menyusun makalah Filsafat Umum dengan tema “AKSIOLOGI”. Dimana makalah ini masih sangat sederhana dan jauh dari sempurna, namun kami berdoa semoga makalah ini dapat memberi manfa’at baik bagi kami, juga bagi pembaca sekalian. Amin. Dan kami memohon kepada Bapak dosen semoga juga tidak bosan-bosanya membimbing dan memberi arahan kepada kami apabila ada kesalahan atau mungkin bahkan kekhilafan dalam pembahasan materi kami kali ini.
Penyusun
Muhammad Rizal Mustaqiem
Muhaifin Agus Sulthony
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Filsafat adalah “induk ilmu pengetahuan”.
Istilah filsafat telah dikenal manusia sejak 2.000 tahun yang lalu, pada masa
Yunani kuno. Di miletos, Asia kecil, tempat perantauan orang yunani, disanalah
awal munculnya filsafat. Mula – mula sejarah awal zamanya, seperti : Thales,
Anaximanders dan Anaximandros. Dan Thaleslah manusia pertama yang mempersoalkan
“substansi terdalam dari segala sesuatu”. So, dari situlah munculnya pengertian-pengertian
tentang kebenaran,maupun nilai yang hakiki”
Maka sangat perlu dikaji bahwa, perilaku
manusia sangat behubungan erat dengan nilai. Semua yang dikerjakan manusia untuk
berfikir yang `arif tentang sebuah
kajian nilai. Pun pula didalam kehidupan ini, kita dapat menghasilkan sesuatu
yang bernilai. Pada pembahasan Aksiologi kali ini,kita akan bahas sedikit tentang
sebuah pertanyaan manusia yang berfikir kritis transformative mengenai “Apakah yang saya lakukan ini pantas atau
tidak?” atau muncul pertanyaan dalam benak “Apakah benda itu bernilai karena
kita menilainya, ataukah kita menilainya karena benda itu bernilai?”. Untuk
lebih jelasnya, maka kami insallah berusaha membahas sedikit dalam makalah ini.
- Rumusan masalah
- Apa pengertian Aksiologi?
- Bagaimanakah konsepnya tentang nilai?
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian Aksiologi
Aksiologi menurut kamus filsafat, barasal dari bahasa Inggris “axiology”;
dari kata Yunani “axios” yang artinya layak; pantas; nilai, dan “logos”
artinya ilmu; studi mengenai. Dari pengertian menurut bahasa tersebut, ada
beberapa pengertian secara istilah sperti yang disebutkan di bawah ini:
- Aksiologi merupakan: analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis ini ialah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status epistimologis dari nilai-nilai itu.
- Aksiologi merupakan: studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.
- Aksiologi adalah: studi filosofis tentang hakikat nilai-nilai. Pertanyaan mengenai hakikat nilai ini dapat dijawab dengan 2 macam cara:
a.
Orang dapat mengatakan
bahwa a) nilai sepenuhnya berhakikat subyektif. Ditinjau dari sudut
pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia
sebagai pelaku. Pengikut teori idealisme subyektif (positivisme logis,
emotivisme, analisis linguistik dalam etika) menganggap nilai sebagai sebuah
fenomen kasadaran.
b.
Dapat pula orang mengatakan
b) nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak terdapat dalam ruang
waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui
akal[1]
Axiologi Atau sering disebut dengan
Filsafat Nilai ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada
umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Didunia ini terdapat banyak
cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus
seperti, ekonomi, etika, estetika, filsafat agama, epistimologi yang
bersangkutan dengan masalah kebaikan (dalam arti kesusilaan), dan
estetika dengan masalah keindahan.2
Menurut John
Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu
sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana
tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu
institusi dapat terwujud.
Nilai merupakan tema baru
dalam filsafat: aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul pertama
kalinya pada paroh kedua abad ke-19. Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan
kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan
dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan
estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika
bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah
keindahan.3[2]
- Konsep Tentang Nilai
Konsep nilai merupakan komplemen
dan sekaligus lawan konsep fakta. Kita memang hanya mengetahui fakta,
tetapi mesti mencari nilai. Karena apapun, sikap apapun, ideal mana saja,
maksud apa saja, maksud manapun, atau tujuan mana saja pasti mempunyai nilai,
maka nilai mesti merupakan objek preferensi atau penilaian kepentingan. Dalam
sejarah filsafat telah muncul sejumlah nilai.
Teori umum tentang nilai bermula dari
perdebatan antara Alexius Meinong dengan Cristian von Ehrenfels pada tahun
1890-an berkaitan dengan sumber nilai. Meinong memandang bahwa sumber
nilai adalah perasaan (feeling), atau perkiraan atau kemungkinan adanya
kesenangan terhadap suatu obyek. Ehrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa sumber
nilai adalah hasrat/keinginan (disire). Suatu obyek menyatu dengan nilai
melalui keinginan aktual atau yang memungkinkan, artinya suatu obyek -memiliki
nilai karena ia menarik. Menurut kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik
obyek itu sendiri-obyektivisme aksiologis.4[3]
1. Persoalan Aksiologis Dalam Kehidupan Sehari-hari
Diskusi pada umumnya
menunjukkan sikap aksiologi yang ekstrim. Bila dua orang tidak sependapat
mengenai makanan atau minuman yang menyenangkan atau tidak, dan mereka gagal
untuk saling meyakinkan, diskusi pada umumnya berakhir dengan pernyataan dari
salah satu di antara kedua belah pihak bahwa dia menyenangi atau tidak
menyenangi hal itu, dan tidak seorang pun yang dapat meyakinkan lawan
bicaranya. Jika terdapat persoalan dalam sebuah diskusi di antara dua orang
terpelajar, maka akan teringat peribahasa latin yang sering diucapakan: “selera
tidak dapat diperdebatkan” (de gustibus non disputandum). Orang yang
mendukung tesis de gustibus non disputandum ingin menunjukkan satu ciri khas
nilai, yaitu sifat yang mendalam dan langsung dari penilaian.
Konflik ini merupakan yang
sangat menggelitik bagi aksiologi kontemporer. Sebenarnya, hal itu lahir
bersama aksiologi itu sendiri dan sejarah teori nilai dapat ditulis, dengan
memandang persoalan ini sebagai sumber dan dengan mensketsakan berbagai
penyelesaian yang telah dikemukakan dalam rangka menyelesaikannya. Meskipun
maknanya mungkin berbeda, persoalan tersebut telah muncul pada Plato;
shakespeare yang menempatkannya dalam Troilus and Cresida (II,2) dan Spinoza
memilih salah satu alternatif di dalam Etika-nya (III, prop.IX).5[4]
2. Nilai itu Obyektif atau Subyektif?
Inti persoalan tersebut
dapat dinyatakan dengan pertanyaan berikut: apakah obyek itu memiliki nilai
karena kita mendambakannya, atau apakah kita mendambakannya karena obyek
tersebut memiliki nilai? Apakah hasrat, kenikmatan atau perhatian yang
memberikan nilai kepada suatu obyek, ataukah sebaliknya, kita mengalami
preferensi ini karena kenyataan bahwa obyek tersebut memiliki nilai yang
mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita.
Dengan pengajuan
pertanyaan seperti ini, sebelumnya diperlukan penjelasan istilah untuk
menghindarkan diri agar tidak terjebak ke dalam disputatio de nominem. Nilai
itu “obyektif” jika ia tidak tergantung pada subyek atau kesadaran yang
menilai; sebaliknya nilai itu “subyektif” jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya
tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan
apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.6[5]
a) Obyektivisme atau Realisme Aksiologi
Nilai, norma, ideal dan
sebagainya merupakan unsur atau berada dalam obyek atau berada pada realitas
obyektif (kata Alexander); atau ia dianggap berasal dari suatu obyek melalui
ketertarikan (kata Spinoza). Penetapan sebuah nilai memiliki makna, yakni benar
atau salah, meskipun nilai itu tidak dapat diverifikasi, yakni tidak dapat
dijelaskan melalui suatu istilah tertentu. Nilai berada dalam suatu obyek
seperti halnya warna atau suhu. Nilai terletak dalam realitas. Bahwa
nilai-nilai – seperti kebaikan, kebenaran, keindahan - ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan
sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja,
merah.
Juga pandangan bahwa
niali-nilai adalah obyektif, dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung
oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam
situasi itu. Pendukung obyektivisme aksiologis mencakup Plato, Aristoteles, St.
Thomas Aquinas, Maritain, Rotce, Urban, Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling,
Alexander, dan lain-lain.7[6]
b) Subyektivisme Aksiologis
Teori-teori berkaitan
dengan pandangan ini mereduksi penentuan nilai-nilai, seperti kebaikan,
kebenaran, keindahan ke dalam statmen yang berkaitan dengan sikap mental
terhadap suatu obyek atau situasi. Penentuan nilai sejalan dengan pernyataan
setuju atau tidak. Nilai memiliki realitas hanya sebagai suatu keadaan pikiran
terhadap suatu obyek.
Subyektivisme aksiologis
cenderung mengabsahkan teori etika yang disebut hedonisme, sebuah teori yang
menyatakan kebahagiaan sebagai kriteria nilai, dan naturalisme yang meyakini
bahwa suatu nilai dapat direduksi ke dalam suatu pernyataan psikologis. Nilai
tergantung dengan pengalaman manusia tentangnya; nilai tidak memiliki realitas
yang independen (relativisme aksiologis). Yang termasuk pendukung
subyektivisme aksiologis adalah Hume, Perry, Prall, Parker, Santayana, Sartre,
dan lain-lain.[7]
Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang
sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abasah sepanjang masa,
serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas social.
Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relative sesuai dengan
keinginan atau harapan manusia.8[8]
3. Relasionisme Aksiologis.
Nilai tidak bersifat privat
(subyektif), tetapi bersifat publik, meskipun tidak bersifat obyektif dalam
arti tidak terlepas dari berbagai kepentingan. Penganjur relasionisme
aksiologis di antaranya Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dan lain-lain.9[9]
4. Nominalisme atau Skeptisisme (Emotivisme Aksiologis)
Teori-teori yang
didasarkan pada pandangan ini mengatakan bahwa penentuan nilai adalah ekspresi
emosi atau usaha untuk membujuk. Yang semuanya tidak faktual. Ilmu tentang
nilai – aksiologi – adalah mustahil. Ajaran G. E. Moore tentang kebahagiaan
yang tidak dapat dijelaskan. Tetapi kebaikan mungkin saja secara faktual
diletakkan pada suatu tindakan atau suatu obyek, walaupun bersifat intuitif dan
tidak dapat diverifikasi.
I. A. Richard membedakan
antara makna faktual dan makna emotif. Catatan sejarah menyebutkan asal mula
emotivisme, yaitu berasal dari logika positivisme: bahwa nilai adalah sesuatu
yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif, meski memiliki makna secara
faktual. Nilai sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu
subyek, obyek ataupun sebagai hubungan. Pendukung emotivisme antara lain:
Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson, Schlick, Carnap, dan lain-lain.[10]
5. Nilai dan Kebaikan.
Sebelum masa Rudolf H.
Lotze (1817-1881) para filsuf hanya kadang-kadang saja membicarakan tentang
nilai. Sehubungan dengan nilai, sesungguhnya filsafat selalu bergelut
dengannya, tetapi di bawah aspek baik dan kebaikannya (bonum et bonitas).
Filsafat nilai pada zaman modern (Max Scheler) yang bermula dari Lotze membuat
pembedaan tajam antara nilai dan kebaikan. Karena nilai-nilai dalam arti ini
dipikirkan sebagai ide-ide dari dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada
dunia nyata dengan peralatan manusia, pandangan ini pantas dinamakan teori
“idealisme nilai”. Lawan idealisme nilai adalah realisme nilai
atau lebih baik, metafisika nilai, yang mengatasi pemisahan nilai dari
yang ada (al-mawjud).[11]
6. Nilai dan Persepsi.
Ciri khusus dari
persepsi-nilai kita tergantung pada sifat hakiki nilai itu sendiri. Kalau nilai
terpisah dari eksistensi, nilai sama sekali tidak dapat dimasuki oleh akal
manusiawi yang tertuju pada eksistensi. Karena nilai itu menampakkan dirinya
hanya kepada perasaan emosional, akibatnya terdapat sejenis irasionalisme-nilai.
Lawan irasionalisme-nilai adalah rasionalisme-nilai yang mereduksikan
ciri khusus nilai pada eksistensinya saja. Di antara kedua ekstrim ini terdapat
hal seperti persepsi intelektual terhadap nilai. Karena persepsi-nilai
intelektual selalu dikondisikan oleh emosi dan hasrat.[12]
Terdapat
beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan/hierarki nilai :
1. Kaum Idealis
Mereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (nilai material).
2. Kaum Realis
Mereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam dan aturan berfikir logis.
3. Kaum Pragmatis
Menurut mereka, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitive terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.[13]
1. Kaum Idealis
Mereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (nilai material).
2. Kaum Realis
Mereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam dan aturan berfikir logis.
3. Kaum Pragmatis
Menurut mereka, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitive terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.[13]
Macam-macam nilai:
1. Nilai Instrumental, mempunyai beberapa pengertian:
a. Nilai yang dimiliki suatu hal dalam menghasilkan akibat-akibat
atau hasil-hasil yang diinginkan.
b. Suatu nilai yang dikenakan pada sesuatu yang digunakan sebagai
alat memperoleh sesuatu yang diinginkan atau dapat diinginkan.[14]
2. Nilai Utilitarian, beberapa pengertian:
a. Nilai yang dipunyai oleh suatu hal yang berguna bagi pemenuhan
sebuah tujuan.
b. Nilai yang dimiliki suatu hal dalam memajukan kebaikan terbesar
dari jumlah besar.14
BAB III
KESIMPULAN
Maka dari
hal ini kita bisa mendeteksi secara sisteatis dan juga jeli dalam sebuah hal
yang perlu dikaji yaitu mengenai sebuah nilai. Mendefinisikan aksiologi sebagai
ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari
sudut pandang kefilsafatan.
Dan
merupakan filsafat nilai atau aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori
umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai. Di
samping itu aksiologi berhubungan dengan etika dan estetika, baik nilai itu
sesuatu yang bersifat subyektif maupun obyektif. Tujuan nilai adalah untuk
mengetahui apakah sesuatu itu baik atau buruk, suka atau tidak suka, senang
atau tidak senang dan lain sebagainya. Sehingga dengan mengetahui nilai maka
tercapailah apa yang menjadi tujuan manusia.
Dari
beberapa pendapat di atas, dapat kita analisa secara garis besar bahwa teori
tentang nilai (aksiologi) dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat
yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA (Referensi)
Ahmad
Faruk, Filsafat Umum, Ponorogo: STAIN PO Press, 2009.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2002.
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa
Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Risieri Frondizi, Filsafat Nilai, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Uyoh Sadulloh,Filsafat Umum, Bandung CV. Pustaka Setia,
1997.
2.
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih
Bahasa Soejono Soemargono (Yogyakarta: TiaraWacana, 1996),hal. 326
Tidak ada komentar:
Posting Komentar