Jumat, 23 September 2016

TARJAMAH PENDIDIKAN BAHASA ARAB IAIN PONOROGO




Nama               : Muhaifin Agus Sulthoni
Prodi               : Pendidikan Bahasa Arab
Makalah          : Tarjamah
 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
      Penerjemahan merupakan proses pengalihan pesan penulisan bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Dua bahasa yang terlibat di dalamnya tentunya memiliki pola kalimat atau tata bahasa yang berbeda. Perbedaan tersebut temtunya tidak menjadikan penerjemahan adalah pekerjaan yang mudah oleh seorang penerjemah. Seorang penerjemah seharusnya memiliki kualifikasi yang baik dalam memahami bahasa baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran. Dalam menerjemahan sebuah teks tertulis terdapat faktor intralinguistik dan ekstralinguistik yang harus dipahami sebelum ide dari seorang penulis dialihkan ke dalam bahasa sasaran. Bahasa sebagai objek penerjemahan merupakan bagian dari budaya dan oleh karena itu penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain tidak dapat dilakukan secara memadai, tanpa memiliki pengetahuan yang baik mengenai budaya dan struktur kedua bahasa tersebut .(Larson 1998: 470)
     Terjemah adalah suatu upaya mengalihkan makna teks (wacana) dari bahasa sumber (lughah al-ashl) ke bahasa sasaran (al-lughah al-mustahdafah). Atau mengalih bahasakan dari bahasa asal  (source language, al-lughah al-mutarjam minha) ke bahasa sasaran (target language, al-lughah al-mutarjam ilaiha). Menurut sebagian pakar bahasa, terjemah juga dapat berarti suatu usaha memindahkan pesan dari teks berbahasa Arab (teks sumber) dengan padanannya kedalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran).Sebenarnya banyak sekali definisi terjemah yang dikemukakan oleh para ahli, namun agar lebih mudah digunakan maka setelah mempertimbangkan prinsip akomodatif kritis transformatif, dapat didefinisikan sebagai berikut: Seni mengganti bahasa ucapan atau tulisan dari bahasa sumber ke dalam bahasa yang dituju. Terjemah dapat dikatakan seni, dikarenakan adanya hubungan yang sangat erat antara kedua bahasa penerjemah. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa terjemah adalah busana pemikiran seseorang. Apabila busana itu baik dan dipakai sesuai dengan suasana dan keadaan, maka akan terlihat indah dan menarik.        
     Yang paling mendasar dalam terjemah adalah kemampuan berpikir dan memindahkan hasil pemikiran ke dalam ungkapan yang baik. Asas tarjamah Jika dalam insya’(mengarang) terdapat dua pilar (ekspresi) penulis dan tafkir (upaya berpikir secara kreatif dan kritis), maka dalam terjemah juga terdapat dua unsur mendasar yakni memahami dan menyusun ide-ide sehingga mengerti maksud pengarang. Intinya, bukan hanya mengalih bahasakan semata, namun kemampuan dan ketrampilan mengikat makna, sehingga merupakan kemenyeluruhan dan keutuhan ide penulis. Di sinilah, penerjemah perlu lebih jeli menangkap pemikiran  dan maksud-maksud dari penulis. Dibandingkan dengan mengarang (insya’), maka proses penerjemahan sebenarnya lebih sulit dan memerlukan usaha lebih teliti dari penulis itu sendiri. Hal itu dikarenakan penerjemah terbatas pada upaya memahami pemikiran penulis, sedangkan penulis lebih bebas mengemas, memilih dan mengekspresikan pikirannya ke dalam tulisan baik dari diksi kata maupun struktur kalimat (uslub) nya. Berdasar pada kondisi di atas, maka penerjemahan selalu rawan terjadi kesalahan, terlebih lebih, jika penerjemah kurang memahami alur pikir penulis, dan tidak membekali diri dengan ilmu bantu yang mencukupi, serta tidak memahami disiplin ilmu yang sedang diterjemahkan. Maka dalam makalah inipun kita akan sedikit mencoba membahas terkait Unsur-unsur ilmu menerjemah Dan Asumsi – asumsi dalam penejemahan.
B. Rumusan Masalah
1.      Apa saja unsur-unsur dalam menerjemah ?
2.      Apa saja asumsi-asumsi dalam penerjemahan ?









BAB 2
PEMBAHASAN
A.    Unsur pokok Tarjamah. Dalam proses penerjemahan, seorang penerjemah perlu memperhatikan beberapa unsur pokok dalam menerjemahkan yaitu:
1.      Aspek bahasa Penguasaan kamus bahasa, kemampuan memilah dan memilih diksi bahasa baik dari arti kosa kata maupun struktur kalimat. Yang tidak kalah pentingnya adalah memahami arti kata baik secara leksikal, tekstual dan konotatif/denotatif.
2.      Ilmussorfi, Sorof Kemampuan memahami ilmu sorof dan perubahan tasrif serta memahjami fungsi penambahan huruf baik untuk transitif (ta’diyah) menerima akibat (mutawa’ah) maupun saling berbalasan (musyarakah). Di samping itu ketrampilan penerjemah dalam dua macam tasrif. Terambil dalam dua macam tasrif itu sangat strategis dalam terjemah. Hal itu bagaikan hafal perkalian dasar dalam ilmu berhitung/matematika.  dalam proses penerjemahan. Sebab jika salah akibatnya akan sangat fatal. Bandingkan: jalasa dengan ajlasa. Fataha dengan infataha,. Dan seterusnya.
3.      Nahwu. Aspek yang tidak mungkin ditinggalkan oleh penerjemah adalah nahwu. Dalam konteks terjemah, kemampuan nahwu di sini bukan hanya sekadar teoritis tapi kompetensi praktis empiris. Penerjemah harus mempu membedakan perbedaan I’rab secara konkrit akurat, apakah itu fa`il, maf`ul, ma`lum majhul, mudhaf, atau man’ut, bentuk kalimat ta’ajjub atau istifham dan seterusnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Qahir alJurjani: semua kata itu tertutup oleh artinya sendiri, sehingga pemahaman I’rablah yang membukakannya. Sorof memproduksi kata-kata untuk direkayasa oleh nahwu sehingga menghasilkan makna yang indah.
4.      Balaghah. Dalam terjemah, balaghah merupakan aspek penting yang tidak bisa ditinggalkan, karena merupakan alat untuk mengenali rasa bahasa dengan sensitifitas yang tinggi, agar penerjemah mampu membedakan arti yang tersirat dari pada hanya arti lahiriyahnya.[1]                                                                                                                                    
           
B.     Unsur ilmu penerjemahan
             Dalam bidang ilmu linguistic, penerjemahan biasanya dikelompokan ke dalam bidang linguistic terapan, karena berbagai teori yang telah dirumuskan dalam linguistic teoritis diterapkan pada bidang penerjemahan. Linguistic teoritis berfungsi sebagai pengembang dan dan pemerkaya teori penerjemahan.
             Namun, penerjemahan pun dapat pula dikelompokan ke dalam linguistic interdisipliner, karena di dalam penerjemahan itu dibicarakan berbagai disiplin ilmu yang merupakan amanat dari sebuah nas. Amanat itu sendiri merupakan salah satu unsur pokok yang terlibat dalam proses penerjemahan. Jika seseorang menerjemahkan buku tentang ketasaufan, niscahya dia perlu membekali dirinya dengan ketasaufan, terutama disini yang berkaitan dengan topic yang dibahas dalam nas itu. Demikian pula dengan nas tentang bidang-bidang ilmu lainya yang perlu dikuasai oleh penerjemah sebagai bagian yang terkait dengan penerjemahan.
            Linguistic terapan atau linguistic interdisipliner ini merupakan suatu disiplin ilmu karena dapat memenuhi syarat-syarat keilmiahan, yaitu bahwa ilmu dikembangkan dengan metode ilmiah yang diakui kesahihanya dikalangan para ahli bahasa secara obyektif. Teori menerjemah yang berhasil dirumuskan juga dapat menjelasakan masalah-masalah penerjemahan serta mengendalikan masalah tersebut.
            Disiplin ilmu terjemah ini terbagi dalam tiga bidang : teori terjemah, kritik atau evaluasi terjemahan, dan pengajaran menerjemah. Dewasa ini tengah berkembang pula satu bidang lainya, yaitu penerjemhan dengan mesin atau computer. Tugas teori terjemah ialah
(1) Mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah-masalah penerjemahan,
(2) Menunjukan factor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memecahkan masalah tersebut, (3) Menyeimbangkan prosedur penerjemahan yang dapat diterapkan, dan
(4) Merekomendasikan prosedur penerjemahan yang paling sesuai.[2]

          Karena itu, teori penerjemahan yang berguna ialah yang tumbuh dari masalah-masalah yang muncul dari praktik penerjemahan. Tidak ada praktik berarti tidak ada penerjemahan (Newmark, 1988:9-10).
            Unsur teori sangatlah penting bgi penerjemah yang berkedudukan sebagai mediator antara penulis dan pembaca. Dia bertugas mengungkapkan ide penulis kepada para pembaca dengan bahasa penerima yang ekuiavalen dengan bahasa sumber. Pengungkapan ide orang lain itu lebih sulit daripada mengungkapkan ide sendiri . kesulitan itu menjadi bertambah karena perbedaan bahasa, budaya, dan konteks serta konteks sosiologis antara penulis dan pembaca. Tugas penerjemah adalah menghilngakn kendala tersebut dengan menggonakan metode dan prosdur penerjemahan. Kadua hal itu menjadi garapan utama teori terjemah.[3]
         Selanjutnya hasil pekerjaan penerjemah dinikmati oleh para pembaca. Pembacalah yang menentukan kualitas terjemahan. Pembaca dapat dikategorikan kedalam dua kelompok : pembaca ahli yang berperan sebagai kritikus dan pembaca umum yang memberikan tanggapan atas terjemahan yang dibacanya. Kritik yang diberikan oleh pembaca ahli didasarkan atas teknik evaluasi tentang keterbacaan nas. Teknik evaluasi penampilan nas, dan tanggapan pembaca dibicarakan dalam satu bidang penerjemahan yang disebut kritik atau evaluasi penerjemahan.
       Penerjemah yang menguasai teori dan pengalaman akan mengahsilkan terjemahan yang berkualitas, yaitu yang sudah dapat difahami. Agar kondisi demikian mudah dapat dicapai, diperlukan suatu lembaga pendidikan formal yang menguapayakan pendidikan penerjemahan. Maka pendidikan penerjemah merupakan bidang ketiga dari penerjemahan yang yang membicarakan tujuan pendidikan atau pengajaran, kurikulum, materi, evaluasi, dan kegiatan belajar mengajar lainya.[4]
 

        Agar hasil terjemahan lebih berbobot, menyentuh dan berkualitas, maka penerjemah perlu mengetahui hal-hal berikut:
a.       Latar belakang topik. Merupakan pengetahuan yang sama atau erat hubungannya dengan masalah topik yang diterjemahkan. Seorang ahli bahasa Inggris lebih menerjemahkan buku bahasa Inggris tentang kedokteran dari pada ahli bahasa Inggris tapi awam terhadap dunia kedokteran.
b.      Konteks, merupakan bagian dari suatu uraian kalimat yang dapat menambah kejelasan makna kata dalam suatu teks. Konteks adalah faktor penting dalam setiap proses penerjemahan, karena konteks mempunyai prioritas yang mengalahkan bahasa teori dan makna utama dari suatu kata.
c.       Konotasi, adalah pertautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan suatu kata. Ini erat sekali dengan al-zauq al-lughawi(rasa bahasa) masing-masing orang. Maka terjemah harus memiliki ketiga aspek non bahasa di atas. Di samping itu terjemah harus memiliki faktor-faktor penunjang lainnya, misalnya, ia harus konkret, tegas, jelas dan populer. Sehingga hasil terjemahan tersebut mudah dibaca dan dipahami oleh pembaca pada tingkatannya. Pemenuhan aspek-aspek itu mulai dari kosa kata, bentuk kata, struktur kalimat, jabatan kata maupun ide, gagasan dan pikiran dari penulis naskah sumber.
d.      Instrumen Tarjamah Merupakan hal mendasar agar penerjemahan dapat dilakukan dengan cermat dan tepat akurat, maka dibutuhkan penguasaan pengetahuan baik dari aspek bahasa maupun non bahasa, di antaranya:[5]
·         .Menguasai dua bahasa. Diperlukan bagi penerjemah penguasaan bahasa target lebih banyak dari pada penguasaannya terhadap bahasa sumber. Contoh, jika akan menerjemahkan naskah dari bahasa Arab ke Indonesia, maka penguasaan terhadap bahasa Indonesia harus lebih luas dan kaya perspektif dengan memperhatikan keempat unsur pokok terjemah di atas; aspek nahwu, sorof, kamus bahasa dan balaghah.


·         Menguasai karakteristik dua bahasa (bahasa sumber dan bahasa sasaran).
·         Pengetahuan yang luas dengan beberapa pendekatan yang lazim digunakan oleh ahli bahasa.
                     Kualifikasi atau Syarat-syarat Menerjemah Mengingat lingkup dan cakupan terjemah yang tidak sederhana, maka diperlukan prasyarat penerjemah agar hasil terjemahannya baik dan  tidak bias, diperlukan beberapa syarat penerjemah, di antaranya:
1.      Terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan alih bahasa dan tidak melakukan penyimpangan makna.
2.      Menguasai dengan baik bahasa sumber dan bahasa sasaran secara seimbang.
3.      Memahami obyek kajian yang sedang diterjemahkan dengan menguasai  istilah-istilah khusus dalam berbagai obyeknya berikut kosa katanya.
4.      Jika, diperlukan, penerjemah harus mengetahui latar belakang penulis dan spesialisasi bidang yang dikuasainya.
5.      Memahami kultur bahasa sumber. Bahkan ada mensyaratkan seorang penerjemah harus mempunyai kompetensidan keistimewaan yang menonjol agar menguasai bidangnya dan trampil mengekspresikan tautan makna yang terkandung dalam bahasa sumbernya.
                 Teknik Terjamah agar proses penerjemahan lebih baik, terdapat tiga tahapan teknik penerjemahan:
a.        Sebelum memulai menerjemahkan, ia harus membaca teks bahasa sumber secara benar dengan melakukan analisa kata dan kalimat dari berbagai sisi baik sighah, struktur, pola, i’rab maupun ragam makna sesuai dengan konteks kalimatnya.
b.      Menguasai dan memahami alur pikir penulis guna menghasilkan pemahaman yang komprehensif dan mengutuh.[6]

Seorang penerjemah harus menghindari penerjemahan secara parsial, sepotong-potong atau bahkan meninggalkan potongan kata yang tidak ia pahami.
c.       Mengalihkan pemikiran penulis ke bahasa target dengan cermat dan tepat, dibarengi dengan ungkapan pemilihan diksi yang benar dan bahasa yang berna .Penerjemah mengulang-ulang wacana dan membaginya kepada satuan terjemahan dengan mengklasifikasikannya menurut kandungan struktur kalimat dan keselarasan hubungannya. Demikianlah, beberapa aspek penting dalam proses penerjemahan. Tanpa penerapan aspek-aspek ini, hasil terjemahan akan kacau, terlalu kental bercorak bahasa sumber, dan tentunya sulit untuk dipahami karena ia mereduksi pemahaman teks asli serta memperkosa bahasa sasaran.

C.     Asumsi dalam penerjamahan
                      Dalam bidang ilmu dikenal asumsi asumsi yang dijadikan pedoman dan arah oleh orang – orang yang melakukan aneka kegiatan yang ilmiah pada bidang tersebut. Dalam bidang terjemahan pun dikenal asumsi-asumsi yang meruapakan cara kerja, pengalaman, keyakinan, dan pendekatan yang dianut oleh para peneliti, praktisi , dan pengakar dalam melaksanakan berbagai kegiatanya. Bahkan, penerjemah yang belum memliki latar belakang pendidikan formal pun, tetapi dibesarkan oelh pengalamanya memilii prinsip dan cara-cara yang digunakan untuk mengatasu masalah penerjamahan yang dihadapinya.
                      Sebagai sebuah asumsi pernyataan-pernyataan berikut ini terbuka untuk di kritik dan dibantah karena dianggap belum terpuji keandalanya sebagai sebuah prinsip atau teori. Disamping itu asumsi ini pun tidak bersifat unifersal. Mungkin saja sebuah asumsi dapat di terapkan dalam menejmahkan dalam nas tertentu, tetapi tidak mungkin diterapkan dalam nas lain. [7]
                      Diantara asumsi yang berlaku dalam kegiatan penerjemahan baik pada bidang teori, praktek, pengajaran, maupun evalusi penerjemahan adalah sebagai berikut.
a.       Penerjemahan merupakan kegiatan yang kompleks. Artinya bidang ini menunutu bidang    penerjemah yang bersifat multidisipliner yaitu kemampuan dalam bidang teori menerjemah, penguasan bahasa sumber dan bahasa penerima.
       b. Budaya suatu bangsa berbeda dengan bangsa yaang lain. Maka bahasa suatubangsapunberbeda dengan yang lainya. Karena itu, pencarian ekuivalensi antara keduanya merupakan kegiatan utama yang dilakukan oleh seorang penerjemah.
       c.   Penerjemah berkedudukan sebagai komunikator antara pengarang dan pembaca. Dia sebagai pembaca yang menyelami makna dan maksud narasumber, dan sebagai penulis yang menyampaikan pemahamanya kepada orang lain melalui sarana bahasa supaya orang lain itu memahaminya. Penerjemahan berada pada titik pertemuan, dengan demikian penerjemah berpedoman pada pemakaian bahasa yang kounikatif.
       d.   Terjemah yang baik adalah terjemah yang bena, jelas, dan wajar. Benar artinya makna yang terdapat dalam terjemahan adalah sama dengan makna pada nas sumber. Jelas berarti terjemahan itu mudah dipahami. Wajar berarti terjemahan itu tidak terasa sebagai terjemahan dan bahasanya mengalir secara alamiah.
       e.  Terjemahan bersifat otonom. Artinya terjemahan hendaknya dapat mengantikan nas sumber atau nas terjemahan itu memberikan pengaruh yang sama kepada pebaca seperti pengaruh yang ditimbulkan nas sumber
         f.  Penerjemah dituntut untuk menguasai pokok bahasan, pengetahuan tentang bahasa sumber. Dan pengetahuan tentang bahasa penerima. Disamping itu diapun di tuntut untuk bersikap jujur dan berpegang pada landasan hukum.
          g. Pengajaran menerjemah dituntut untuk mengikuti landasan teoritis penerjemahan dan kritik terjemah.[8]
BAB III
KESIMPULAN
-          Unsur pokok dalam menerjemahkan yaitu:
-Aspek bahasa Penguasaan kamus bahasa, kemampuan memilah dan memilih diksi bahasa baik dari arti kosa kata maupun struktur kalimat. Yang tidak kalah pentingnya adalah memahami arti kata baik secara leksikal, tekstual dan konotatif/denotatif.
-Ilmussorfi, Sorof Kemampuan memahami ilmu sorof dan perubahan tasrif serta memahjami fungsi penambahan huruf baik untuk transitif (ta’diyah) menerima akibat (mutawa’ah) maupun saling berbalasan (musyarakah).
-Nahwu. Aspek yang tidak mungkin ditinggalkan oleh penerjemah adalah nahwu. Dalam konteks terjemah, kemampuan nahwu di sini bukan hanya sekadar teoritis tapi kompetensi praktis empiris.
-Balaghah. Dalam terjemah, balaghah merupakan aspek penting yang tidak bisa ditinggalkan, karena merupakan alat untuk mengenali rasa bahasa dengan sensitifitas yang tinggi, agar penerjemah mampu membedakan arti yang tersirat dari pada hanya arti lahiriyahnya.
        -   Asumsi asumsi yang dijadikan pedoman Dalam bidang terjemahan pun dikenal asumsi-asumsi yang meruapakan cara kerja, pengalaman, keyakinan, dan pendekatan yang dianut oleh para peneliti, praktisi , dan pengakar dalam melaksanakan berbagai kegiatanya. Bahkan, penerjemah yang belum memliki latar belakang pendidikan formal pun, tetapi dibesarkan oelh pengalamanya memilii prinsip dan cara-cara yang digunakan untuk mengatasu masalah penerjamahan yang dihadapinya.
        




DAFTAR PUSTAKA
Abdul ‘Alim az-Zarqani, Manâhilul ‘Irfân. (2003) Juz 2.
Mujahid, A.K. (20013). Ad-Dilalah Al-Lughawiyah ‘Indal ‘Arab. ‘Amman: Dar ad-Dhiya`.
Syihabuddin (2001). Teori dan Praktik Penerjemahan Arab Indonesia.
Utsman Amin.(1994) Falsafatullughah al-’Arabiyah.
   



[1] . Abdul ‘Alim az-Zarqani, Manâhilul ‘Irfân. (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003) hal 23, Juz 2.

[2].  Syihabuddin. Teori dan Praktik Penerjemahan Arab Indonesia. (Bandung Humaniora, 2001) hal 14

[3] . Syihabuddin. Teori dan Praktik Penerjemahan Arab Indonesia. Hal 15
[4] . Utsman Amin. Falsafatullughah al-’Arabiyah. (Yogyakarta: Kanisius, 1994) hal 41

[5] . Mujahid, A.K. Ad-Dilalah Al-Lughawiyah ‘Indal ‘Arab. (‘Amman: Dar ad-Dhiya, 2013) hal 58
[6] . Mujahid, A.K. Ad-Dilalah Al-Lughawiyah ‘Indal ‘Arab hal 66
[7] . Syihabuddin. Teori dan Praktik Penerjemahan Arab Indonesia. (Bandung Humaniora, 2001) hal 16
[8] .  Syihabuddin. Teori dan Praktik Penerjemahan Arab Indonesia. Ha 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar