BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Kurikulum Secara Global
Banyak orang yang menganggap kurikulum berkaitan
dengan bahan ajar atau buku-buku pelajaran yang harus dimiliki anak didik,
sehingga perubahan kurikulum identik dengan perubahan buku pelajaran. Persoalan
kurikulum bukan hanya persoalan buku ajar akan tetapi banyak persoalan lainnya
termasuk persoalan arah dan tujuan pendidikan, persoalan materi pelajaran,
serta persoalan-persoalan lainnya yang terkait dengan hal itu.
Istilah kurikulum di gunakan pertama kali pada dunia
olahraga pada zaman yunani kuno yang berasal dari kata cucir dan curere. Pada
waktu itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang
pelari. Orang-orang mengistilahkannya dengan tempat berpacu atau tempat berlari
mulai dari setart samapai finish.[1]
Perkembangan lebih lanjut, kurikulum dipakai juga dalam
dunia pendidikan. Dalam hal ini kami menemukan beberapa sumber bahwa definisi
kurikulum dapat dimaknai dalam tiga konteks, yaitu:
1. Kurikulum sebagai jumlah mata pelajaran
Pengertian
kurikulum sebagai jumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik,
merupakan konsep kurikulum yang sampai saat ini mewarnai teori-teori dan
praktik pendidikan.
Kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran
sering dihubungkkan dengan usaha untuk memperoleh ijazah, sedangkan ijazah itu
sendiri menggambarkan kemampuan. Oleh karena itu, hanya orang yang telah
memperoleh kemampuan sesuai standar tertentu yang akan memperoleh ijazah.
2. Kurikulum sebagai pengalaman belajar
Pengertian kurikulum sebagai pengalaman
belajar, mengandung makna bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang
dilakukan siswa baik didalam maupun diluar sekolah asal kegiatan tersebut
berada dibawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksut dengan kegiatan itu
tidak terbatas pada kegiatan intra maupun ekstra kurikuler. Apapun yang
dilakukan siswa asal saja dibawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah
kurikulum. Misalnya kegiatan anak didik atau siswa mengerjakan pekerjaan rumah,
mengerjakan tugas kelompok, mengadakan observasi, wawancara, dan lain
sebagainya, itu merupakan bagian dari kurikulum, karena memang
pekerjaan-pekerjaan itu adalah tugas-tugas yang diberikan guru dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan seperti yang diprogramkan oleh sekolah.
Kalaulah
kurikulum dianggap sebagai pengalaman
atau seluruh aktifitas siswa, maka untuk memahami kurikulum sekolah, tidak
cukup hanya dengan melihat dokumen kurikulum sebagai suatu program tertulis,
akan tetapi juga bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan anak didik baik
disekolah maupun di luar sekolah.
Hal ini harus di pahami, sebab kaitannya
sangat erat dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu
bahwa pencapaian target pelakasanaan suatu kurikulum tidak hanya diukur dari
kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang
bergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat
proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman belajar.
3. Kurikulum sebagai perencanaan program
belajar
Definisi kurikulum sebagai suatu rencana
bukan hanya berisi tentang program kegiatan, akan tetapi juga berisi tentang
tujuan yang harus di tempuh beserta alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan
penciptaan tujuan, di samping itu tentu saja berisi tentang alat atau media yang diharapkan dapat menunjang
terhadap pencapaian tujuan.
Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya
juga sejalan dengan rumusan kurikulum, menurut undang-undang pendidikan kita
yang di jadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan yaitu
Undang-Undang No/ 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengartikan
kurikulim sebagai; seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
pahan pelajaran serta cara yang di gunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU No. 20
Tahun 2003, Bab 1 pasal 1 ayat 19)
Namun demikian, apalah artinya sebuah
perangkat perencanaan tanpa implementasi di lapangan. Sebuah rencana akan
memiliki makna, manakala ada tindakan sesuai dengan rencana itu. Oleh karena
itu, dalam konteks perencanaan itu juga
sebenarnya terkandung makna implementasi, artinya apa yang dilakukan siswa
semestinya tidak keluar dari program yang telah direncanakan. Sebab,
pendiddikan sebagai suatu proses yang bertujuan, maka harus didesain agar
implementasinya tidak melenceng dari tujuan yang telah di tetapkan.[2]
B. Sejarah Awal
Mula Perkembangan Kurikulum
Istilah kurikulum sudah dikenal sejak 1820.
Sejarah keberadaan kurikulum dapat dilacak saat Plato menyusun aritmatika
sebagai ringkasan belajar yang di dalamnya mencakup geometri, astronomi, solid
geometri. Semua itu terkait dengan pelajaran matematika. Namun demikian, meski
Plato mengintrodusir konsep kurikulum, tetapi sejarah kurikulum mulai masuk ke
sekolah dapat di telusuri pada abad ke-16. Seeperti yang ditulis Hamilton,
tatanan alam/bumi saat itu termasuk ilmu-ilmu alam sangat berpengaruh terhadap
terciptanya kurikulum pada saat itu. Plato menyebutnya dengan nature
knowledge. Dua faktor yang cukup penting dalam periode tersebut adalah renaissans
dan revolusi sains. Selain itu Hamilton juga mengatakan bahwa peran Descartes
sangat besar dalam mengkontruksi kurikulum.
Menurut Franklin kurikulum sudah mulai
dikenal sejak abad 16-17. Konsep kurikulum awalnya ditemukan oleh sejumlah
ilmuwan dari ilmuwan alam seperti biologi ataupun matematika. Selain untuk
menyusun tujuan pembelajaran di sekolah untuk ilmu alam, kurikulum juga saat
itu diakui perannya dalam pelajaran lain seperti sejarah maupun bahasa Inggris.
Saat itu kurikulum sudah dipakai sebagai rancangan untuk mengatur dan mengelola
sejumlah pengetahuan dari pengajaran yang telah dilakukan oleh guru. Sejarah
kurikulum juga dapat dijelaskan ketika The Commite Of Ten yang merupakan sebuah
kelompok praktisi dan ahli pendidikan di Amerika pada tahun 1982
merekomendasikan standar kurikulum untuk sekolah di Amerika. Saat itu akhir
1800-san Amerika Serikat memerlukan standar kurikulum untuk seluruh sekolah.
Dan pada waktu itu para ahli pendidikan yang tergabung dalam The Commite Of Ten
menganggab bahwa sekolahan di Amerika merupakan sebuah institusi penting bagi
generasi muda Amerika karena setelah mereka lulus dari “high school” tersebut
akan melanjutkan pendidikan ke Universitas.
Pertimbangan yang lain adalah
sekolah-skolah di Amerika terdiri dari berbagai etnis, ras maupun latar belakang
kebangsaan lainnya. Oleh karena itu pemerintah Amerika Serikat mencoba untuk
memberikan standar pengajaranbagi seluruh murid yang ada. Untuk menyeklesaikan
masalah itu, pemerintah Amerika Serikat melalui lembaga The National Education
Association yang di bentuk pada tahun 1982 menunjuk sebuah kelompok kerja yang
bernama The Commite Of Ten. Kelompok ini terdiri dari praktisi pendidikan di
seluruh Amerika Serikat dan beberapa
ahli pendidikan dari universitas. Kelompok ini dipimpin oleh Charles William Eliot
yang merupakan rektor Harvard University.
Sejumlah refrensi lain mencatat bahwa
kurikulum menjadi sebuah kajian yang menarik di sekolah. Misalnya di jelaskan
oleh Lewy yang mengatakan bahwa dalam bukunya Fleury terbitan 1686 yang
berjudul The History Of Choiche and Method Of Studies menjelaskan kurikulum
sudah menjadi topic pembahasan dalam praktik pendidikan di Prancis. Buku Fleury
ini awalnya berbahasa Prancis kemudian di terbitkan ke dalam bahasa Inggris
pada tahun 1695.
Perkembangan itu mengakibatkan kurikulum
digunakan dalam seluruh proses pembelajaran baik formal maupun non formal di
seluruh dunia. Dengan kurikulum seluruh proses pendidikan di sekolah maupun
lembaga pendidikan sangat terbantu karena adanya perencanaan yang lebih sistematis.
Dengan kurikulum juga kalangan praktisi pendidikan melihatnya sebagai sebuah
kemajuan yang signifikan dalam praktik pendidikan karena dapat
mentransformasikan pengetahuan, informasi, perasaan, emosi, nilai maupun
keahlian kepada peserta didik.
Dalam perkembangannya kurikulum mulai
menjadi suatu disiplin ilmu yang lebih mandiri. Di luar negri kurikulum menjadi
sebuah “the subject of curriculum studies”. Perkembangan ini terjadi sekitar
awal abad ke-20 seiring dengan perkembangan signifikan kurikulum dala proses
pendidikan di sekolah. Ada kesamaan cara pandang di kalangan ilmuwan pendidikan bahwa
kurikulum sudah berkembang baik secara teoritis maupun praktis yang menjelaskan
seluruh proses kurikulum di sekolah sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang relevan
serta mandiri.[3]
C. Sejarah
Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Pada dasarnya, perkembangan kurikulum di
Indonesia brpijak dari perkembangan pendidikan di Indonesia itu sendiri. Secara
formal, sejak zaman Belanda sudah ada sekolah, dan artinya kurikulum sudah ada.
Pada zaman belanda pelaksanaan pendidikan
dan persekolahan memiliki cirri khas, yang mana kurikulum pendidikan di warnai
oleh misi penjajahan Belandda. Begitu juga halnya dengan kurikulum zaman
Jepang, sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan atau tujuan pendidikan pada
zaman ini adalah untuk menciptakan sumber daya manusia yang dapat membantu misi
penjajahan di tanah air. Belanda, misalnya
dengan memanfaatkan pribumi untuk mengeruk kekayaan alam seoptimal
mungkin, sedangkan Jepang dikenal dengan “Asia Timur Raya” dalam membantu misinya dalaam peperangan.[4]
Adapun pembaharuan kurikulum biasanya di
mulai dari perubahan konsepsional yang fundamental yang dikuti oleh perubahan
struktural. Pembaharuan dikatakan bersifat sebagian bila hanya terjadi pada
komponen tertentu saja misalnya pada tujuan saja, isi saja, metode saja, atau
sistem penilaian saja. Pembaharuan kurikulum bersifat menyeluruh bila mencakup
perubahan semua komponen kurikulum.
Sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia
setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 telah mengalami beberapa kali
perubahan dan perkembangan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975,
1984, 1994,2002, 2004, 2006 (KTSP) dan tahun 2013. Perubahan tersebut merupakan
konsekuensi dan implikasi terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya,
ekonomi dan perkembangan iptek dalam masyarakat berbangsan dan bernegara.[5]
Adapun
sejarah perjalanan kurikulum di Indonesia dari masa ke masa adalah sebagai
berikut:
a. Kurikulum 1947 (rencana pelajaran)
Kurikulum
pertama yang lahir setelah Indonesia merdeka di sebut rencana pelajaran atau
dalam bahasa Belanda leer plan. Kurikulum 1947 di landasi dengan semangat
zaman dan suasana kehidupan berbangsa dengan spirit merebut kemerdekaan maka
pendidikan pada waktu itu lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia
Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain, kesadaran
bernegara dan masyarakat. Materi pelajaran di hubungkan dengan kejadian dan
kehidupan sehari-hari serta memberikan perhatian terhadap pendidikan kesenian
dan pendidikan jasmani. Rencana pembelajaran 1947 baru secara resmi di
laksanakan di sekolah-sekolah mulai tahun 1950. Bentuk kurikulum ini memuat dua
hal pokok yaitu; daftar mata pelajaran dan jam pelajaran, di sertai dengan
garis-garis besar pengajaran.[6]
b. Kurikulum 1952 (rencana pelajaran terurai)
Setelah rencana pelajaran 1947, pada tahun
1952 kueikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan, selanjutnya tujuan
pendidikan dan pengajaran republik Indonesia pada waktu itu ialah membentuk
manusia susila yang cakap dan warga Negara yang yang demokratis serta
bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Sistem
pendidikan pada masa ini dinamakan Sistem Panca Wardana atau sistem lima aspek
perkembangan yaitu;
1. Perkembangan moral : pendidikan
kemasyarakatan, pendidikan agama atau budi pekerti.
2. Perkembangan intelegensi: bahasa Indonesia,
bahasa Daerah, berhitung dan pengetahuan alamiah.
3. Perkembangan emosional artistik (rasa
keharuan): seni sastra atau musik, seni lukis atau rupa, seni tari dan seni
sastra atau drama.
4. Perkembangan keprigelan: pertanian atau
peternakan, indusri kecil atau pekerjaan tangan, koperasi atau tabungan, dan
keprigelan-keprigelan yang lain.
5. Perkembangan jasmaniah: pendidikan
jasmaniah, pendidikan kesehatan.
Kurikulum
ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional, yang paling menonjol
dan sekaligus cirri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana mata
pelajarannya jelas sekali.
c. Kurikulum 1964 (rencana pendidikan)
Di penghujung era pemerintah presiden
Sukarno menjelang tahung 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem
kurikulum di Indonesia, kurikulum ini di beri nama rencana pendidikan 1964 atau
kurikulum 1964, tujuan pendidikan pada masa ini adalah membentuk manusia
Pancasila dan Manipol/Usdek yang bertanggung jawab atas terselenggaranya
masyarakat adil dan makmur, materil dan spiritual.[7]
d. Kurikulum 1968
Lahirnya
kurikulum 1968 sebagai perubahan dari kurikulum 1964 dipengaruhi oleh kelompok
perubahan sistem politik dari pemerintahan rezim orde lama ke rezim
pemerintahan orde baru, kurikulum 1968 menggantikan rencana pendidikan 1964
yang diceritakan sebagai produk Orde Lama.
Dari segi tujuan pendidikan, kurikulum
1968 di arahkan pada upaya untuk membentuk manusia pancasila sejati, kuat dan
sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani moral, budi
pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan di arahkan pada kegiatan
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan serta mengembangkan fisik yang sehat
dan kuat.
e. Kurikulum 1975/1976
Pembaruan
kelima terjadi dengan diterbitkannya kurikulum 1975/1976. Kurikulum 1975 untuk
SD/SMP dan SMA sedangkan kurikulum 1976 untuk sekolah Keguruan yaitu SPG dan
Sekolah Menengah Kejurusan (STM/SMK)
f. Kurikulum 1984
Kurikulum 1975 hingga menjelang akhir 1983
di anggab sudah tik relevan lagi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan
tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dari itu keputusan politik yang
menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 kepada kurikulum 1984,
karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975
menjadi kurikulum 1984.[8]
g. Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 lebih pada upaya memadukan
kurikulum-kurikulum sebelumnya yaitu mengkombinasikan antara kurikulum 1975
yang berorentasi pada tujuan dan pendekatan proses yang dimiliki kurikulum
1984, kurikulum 1994 di buat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan
dilaksanakan sesuai dengan UU No.2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan
nasional. Hal yang sangat menonjol dari kurikulum 1994 adalah program wajib
belajar 9 tahun dan adanya kurikulum lokal, dan tentunya , bamyak lagi hal lain
yang khas sendiri, sesuai dengan kebutuhan dan perubahan yang ada pada zaman
dimana kurikulum itu berubah.[9]
h. Kurikulum Berbasis Kompetensi Tahun 2002
dan 2004
Setelah
kurikulum 1994 dirasa tidak lagi sesuai dengan dunia pendidikan Indonesia,
selanjutnya pemerintah merumuskan sebuah kurikulum yang dirumuskan oleh
pemerintah tersebut adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Secara umum,
pada era reformasi ini prinsip implementasi kurikulum 2002 adalah lahirnya KBK,
yang meliputi antara lain: kegiatan belajar mengajar (KBM), penilaian berbasis
kelas, dan pengelolaan kurikulum berbesis sekolah. Dan pada masa ini juga
perubahan sistem, yaitu dari sistem catur wulan ke sistem semester. Dalam
hubungan KBM, proses belajar tidak hanya berlangsung di lingkungan sekolah,
tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat.[10]
i.
Kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran)
Awal 2006
uji coba KBK di hentikan, dan muncullah KTSP. Di susun oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan yang selanjutnya diterapkan oleh menteri pendidikan
nasional melalui Permendiknas nomer 22, 23 dan 24 tahun 2006.
KBK
disempurnakan dengan KTSP karena hasilnya kurang signifikan, hal ini menurut
Mansur Muslich disebabkan beberapa faktor:
1. Konsepnya belum bisa di pahami secara benar
oleh guru sebagai ujung tombak di kelas, akibatnya ketika guru melakukan
penjabaran materi tidak sesuai dengan KBK.
2. Draf kurikulum yang terus menerus mengalami
perubahan akibatnya, guru mengalami kebingungan rujukan sehingga muncul ketidak
beraturan dalam penerapan.
Belum adanya
panduan setrategi pembelajaran yang bisa dipakai guru ketika akan melaksanakan
tugs intruksional bagi siswanya, akibatnya ketika melaksanakan pembelajaran,
guru hanya mengandalkan pengalaman yang telah dimilikinya, yang mayoritas
berbasis materi sehingga tidak ada kemajuan yang berarti.
Maka dari
itu kurikulum 2006 yang diperkenalkan dengan nama KTSP di luncurkan, untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut. Dalam hal ini KTSP merupakan hasil dari penegasan
atau sejalan dengan kebijakan desentralisasi. Ini merupakan sebuah konsep yang
indah karena memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada daerah untuk
berkembang. Dengan ini seluruh potensi setempat di harapkan dapat di daya
gunakan demi pengembangan setempat. Dalam lingkup satuan pendidikan atau
sekolah, paradigm yang sama juga ingin diberlakukan, yakni satuan pendidikan
menjadi mandiri dan diberi kesempatan mengerahkan seluruh potensi demi kemajuan
pendidikan yang kontekstual, meski harus disadari, hal ini tidak mudah di
laksanakan.[11]
j.
Kurikulum 2013 (K13)
Dalam
konteks nasional, kebijakan perubahan kurikulum merupakan politik pendidikan
yang berkaitan dengan kepentingan berbagai pihak, bahkan dalam pelakasanaannya
seringkali dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan. Sekolah sebagai pelaksana
pendidikan, baik pengawas, kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan nonguru,
maupun peserta didik sangat berkepentingan dan akan terkena imbasnya secara
langsung dari setiap perubahan kurikulum. Di samping itu orang tua, dan
masyarakat pada umumnya, dunia usia industry, serta para birokrat, baik dipusat
maupun di daerah akan terkena dampak dari perubahan kurikulum tersebut, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Demikian halnya perubahan kurikulum KTSP
2006 menjadi kurikulum 2013 akan memberikan dampak berbagai pihak.
Berkaitan
dengan perubahan kurikulum, berbagai pihak menganalisis dan melihat perlunya
diterapkan kurikulum berbasis kompetensi sekaligus berbasis karakter, yang
dapat membekali peserta didik dengan berbagai sikap dan kemampuan yang sesuai
dengan tuntutan perkembangan zaman dan tuntutan teknologi. Hal tersebut
penting, guna menjawab tantangan arus globalisasi, berkontribusi pada
pembangunan masyarakat dan kesejahteraan sosial, lentur, serta adaptif terhadap
berbagai perubahan. Kurikulum berbasis karakter dan kompetensi diharapkan mampu
memecahkan berbagai persoalan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan, dengan
mempersiapkan peserta didik, melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
terhadap sistem pendidikan secara efektif, efisien dan berhasil. Oleh karena
itu, merupakan langkah yang positif ketika pemerintah merevitalisasi pendidikan
karakter dalam seluruh jenis dan jenjang pendidikan, termasuk dalam
pengembangan Kurikulum 2013.
Pendidikan
karakter dalam Kurikulum 2013 bertujuan untuk meningkatkan mutu proses dan
hasil pendidikan, yang mengarah pada pembentukan bbudi pekerti dan akhlaq mulia
peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang, sesuai dengan standar
kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan. Melalui impkementasi
Kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi sekaligus berbasis karakter, dengan
pendekatan tematik dan kontekstual diharapkan peserta didik mampu secara
mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan
menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia
sehingga terwujud dalam perilaku sehari-sehari.
Meskipun
demikian, kurikulum ini tidak dapat dig unakan untuk memecahkan seluruh
permasalahan pendidikan. Waktu terus berlalu tanpa kompromi, tetapi DPR belum
menyetujui rencana kemendikbud untuk melakukan perubahan kurikulum. Rencana pun
telah di ubah kembali yang semula kurikulum 2013 akan di implementasikan pada
30% SD, dan 100% untuk SMP, SMA, dan SMK, di ubah hanya menjadi 5% SD, dan 7%
untuk SMP, SMA, dan SMK, itu pun masih tarik ulur, belum mendapat restu DPR.
Tahun 2013 dilakukan pilot projek pada beberapa Kurikulum 2013.
Dalam implementasi Kurikulum 2013 yang
berbasis karakter dan kompetensi, pendidikan karakter bukan hanya tanggung
jawab sekolah semata, tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak yaitu, orang
tua, pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan rencana,
pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran di mulai dari analisis karakter dan dan
kompetensi yang akan dibentuk, atau yang diharapkan, muncul setelah
pembelajaran. Bedanya dengan kurikulum lain, Kurikulum 2013 lebih fokus dan
berangkat dari karakter serta kompetensi yang akan dibentuk, baru memikirkan
untuk mengembangkan tujuan yang akan dicapai. Semua komponen lebih diarahkan
pada pembentukan karakter dan kompetensi peserta didik yang akan diharapkan,
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam hal ini, semakin banyak
yang terlibat dalam pembentukan karakter dan kompetensi akan semakin efektif hasil
yag diperoleh. Oleh karena itu, untuk mengefektifkan program pendidikan
karakter dan meningkatkan kompetensi dalam kurikulum2013 diperlukan koordinasi,
komunikasi dan jalinan kerja sama antara sekolah, orang tua, masyarakat dan
pemerintah baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan
pengawasannya.[12]
D. Urgensi Peranan Kurikulum Dalam Pembelajaran
Sebagai
program pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis, kurikulum
mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan siswa. Apabila di
analisis sifat dari masyarakat dan kebudayaan, dengan sekolah sebagai intuisi
sosial dalam melaksanakan operasinya, maka dapat ditentukan paling tidak tiga
peranan kurikulum yang sangat penting, yakni peranan konservatif, peranan
kritis atau evaluatif, dan peranan kreatif. Ketiga peranan
ini sama penting dan perlu dilaksanakan secara seimbang.
1.
Peranan Konsevatif
Salah satu
tanggung jawab kurikulum adalah mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial
pada generasi muda. Dengan demikian, sekolah sebagai suatu lembaga sosial dapat mempengaruhi dan membina tingkah laku
siswa sesuai dengan berbagai nilai sosial yang ada dalam masyarakat, sejalan
dengan peranan pendidikan sebagai suatu proses sosial. Ini sering dengan
hakikat pendidikan itu sendiri, yang berfungsi sebagai jembata antara para
siswa selaku anak didik dengan orang dewasa, dalam suatu proses pembudayaan
yang semakin berkembang menjadi lebih kompleks. Oleh karenanya, dalam kerangka
ini, fungsi kurikulum menjadi teramat penting., karena ikut membantu proses
tersebut.
2.
Peranan Kritis atau Evaluatif
Kebudayaan
senantiasa berubah dan bertambah. Sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan
yang ada, melainkan juga menilai dan memilih sebagai unsur kebudayaan yang akan
diwariskan. Dalam hal ini, kurikulum turut aktif berpartisipasi dalam control
sosial dan member penekanan pada unsure berpikir kritis. Nilai-nilai sosial
yang tidak sesuai lagi dengan keadaan di masa mendatang dihilangkan, serta
diadakan modifikasi dan perbaikan. Dengan demikian, kurikulum harus merupakan
pilihan yang tepat atas dasar criteria tertentu.
3.
Peranan Kreatif
Kurikulum
berperan dalam melakukan berbagai kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam artian menciptakan dan
menyusun suatu hal yang baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat di masa
sekarang dan masa menddatang. Untuk mambantu setiap individu dalam
mengembangkan semua potensi yang ada padanya, maka kurikulum menciptakan pelajaran,
pengalaman, cara berpikir, kemampuan, dan keterampilan yang baru, yang
memberikan manfaat bagi masyarakat.
Ketiga peran kurikulum tersebut harus
berjalan secara seimbang, atau dengan kata lain terdapat keharmonisan di antara
ketiganya. Dengan demikian, kurikulum dapat memenuhi tuntutan waktu dan keadaan
dalam membawa siswa menuju kebudayaan masa depan.[13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Definisi kurikulum dapat dimaknai dalam
tiga konteks, yaitu:
a. Kurikulum sebagai jumlah mata pelajaran
b. Kurikulum sebagai pengalaman belajar
c. Kurikulum sebagai perencanaan program
belajar
2.
Periodesasi sejarah kurikulum di Indonesia
a.
Pra kemerdekaan
b.
Masa Orde Lama
c.
Masa Orde Baru
d.
Masa Reformasi
3.
Peranan Kurikulum
Dalam Pembelajaran
a.
Peranan Konservatif
b.
Peranan Kritis atau Evaluatif
c.
Peranan Kreatif
[3] Rahmat Hidayat, Pengantar Sosiologi Kurikulum,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011) hal 3-5
[4] Abdulloh Idi, Pengembangan Kurikulum
Teori dan Praktik, (Jogjakarta, Ar-ruzz Media, 2007) hal 15
[7] Abdulloh Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktik, (Jogjakarta, Ar-ruzz Media, 2007) hal 20-21
[9] Abdulloh Idi, Pengembangan Kurikulum
Teori dan Praktik, (Jogjakarta, Ar-ruzz Media, 2007) hal 42
[11] Muhammad Joko Susilo, Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), hal 95
[12] H. E Mulyasa, Pengembangan Implementasi
Kurikulum 2013 (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2015) hal `4-6
[13] Oemar Hamalik, Dasar-Dasar
Pengembangan Kurikulum, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2008), 11-13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar