Minggu, 25 September 2016

SEJARAH KURIKULUM (MAKALAH PBA)



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Kurikulum Secara Global
Banyak orang yang menganggap kurikulum berkaitan dengan bahan ajar atau buku-buku pelajaran yang harus dimiliki anak didik, sehingga perubahan kurikulum identik dengan perubahan buku pelajaran. Persoalan kurikulum bukan hanya persoalan buku ajar akan tetapi banyak persoalan lainnya termasuk persoalan arah dan tujuan pendidikan, persoalan materi pelajaran, serta persoalan-persoalan lainnya yang terkait dengan hal itu.
Istilah kurikulum di gunakan pertama kali pada dunia olahraga pada zaman yunani kuno yang berasal dari kata cucir dan curere. Pada waktu itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Orang-orang mengistilahkannya dengan tempat berpacu atau tempat berlari mulai dari setart samapai finish.[1]
Perkembangan lebih lanjut, kurikulum dipakai juga dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini kami menemukan beberapa sumber bahwa definisi kurikulum dapat dimaknai dalam tiga konteks, yaitu:
1.      Kurikulum sebagai jumlah mata pelajaran
Pengertian kurikulum sebagai jumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik, merupakan konsep kurikulum yang sampai saat ini mewarnai teori-teori dan praktik pendidikan.
      Kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran sering dihubungkkan dengan usaha untuk memperoleh ijazah, sedangkan ijazah itu sendiri menggambarkan kemampuan. Oleh karena itu, hanya orang yang telah memperoleh kemampuan sesuai standar tertentu yang akan memperoleh ijazah.
2.      Kurikulum sebagai pengalaman belajar
      Pengertian kurikulum sebagai pengalaman belajar, mengandung makna bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik didalam maupun diluar sekolah asal kegiatan tersebut berada dibawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksut dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra maupun ekstra kurikuler. Apapun yang dilakukan siswa asal saja dibawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum. Misalnya kegiatan anak didik atau siswa mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas kelompok, mengadakan observasi, wawancara, dan lain sebagainya, itu merupakan bagian dari kurikulum, karena memang pekerjaan-pekerjaan itu adalah tugas-tugas yang diberikan guru dalam rangka mencapai tujuan pendidikan seperti yang diprogramkan oleh sekolah.
Kalaulah kurikulum dianggap sebagai  pengalaman atau seluruh aktifitas siswa, maka untuk memahami kurikulum sekolah, tidak cukup hanya dengan melihat dokumen kurikulum sebagai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan anak didik baik disekolah maupun di luar sekolah.
      Hal ini harus di pahami, sebab kaitannya sangat erat dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu bahwa pencapaian target pelakasanaan suatu kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang bergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman belajar.
3.      Kurikulum sebagai perencanaan program belajar
       Definisi kurikulum sebagai suatu rencana bukan hanya berisi tentang program kegiatan, akan tetapi juga berisi tentang tujuan yang harus di tempuh beserta alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan penciptaan tujuan, di samping itu tentu saja berisi tentang alat atau  media yang diharapkan dapat menunjang terhadap pencapaian tujuan.
      Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan dengan rumusan kurikulum, menurut undang-undang pendidikan kita yang di jadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan yaitu Undang-Undang No/ 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengartikan kurikulim sebagai; seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan pahan pelajaran serta cara yang di gunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU No. 20 Tahun 2003, Bab 1 pasal 1 ayat 19)
     Namun demikian, apalah artinya sebuah perangkat perencanaan tanpa implementasi di lapangan. Sebuah rencana akan memiliki makna, manakala ada tindakan sesuai dengan rencana itu. Oleh karena itu, dalam konteks  perencanaan itu juga sebenarnya terkandung makna implementasi, artinya apa yang dilakukan siswa semestinya tidak keluar dari program yang telah direncanakan. Sebab, pendiddikan sebagai suatu proses yang bertujuan, maka harus didesain agar implementasinya tidak melenceng dari tujuan yang telah di tetapkan.[2]

B.     Sejarah Awal Mula Perkembangan Kurikulum
 Istilah kurikulum sudah dikenal sejak 1820. Sejarah keberadaan kurikulum dapat dilacak saat Plato menyusun aritmatika sebagai ringkasan belajar yang di dalamnya mencakup geometri, astronomi, solid geometri. Semua itu terkait dengan pelajaran matematika. Namun demikian, meski Plato mengintrodusir konsep kurikulum, tetapi sejarah kurikulum mulai masuk ke sekolah dapat di telusuri pada abad ke-16. Seeperti yang ditulis Hamilton, tatanan alam/bumi saat itu termasuk ilmu-ilmu alam sangat berpengaruh terhadap terciptanya kurikulum pada saat itu. Plato menyebutnya dengan nature knowledge. Dua faktor yang cukup penting dalam periode tersebut adalah renaissans dan revolusi sains. Selain itu Hamilton juga mengatakan bahwa peran Descartes sangat besar dalam mengkontruksi kurikulum.
     Menurut Franklin kurikulum sudah mulai dikenal sejak abad 16-17. Konsep kurikulum awalnya ditemukan oleh sejumlah ilmuwan dari ilmuwan alam seperti biologi ataupun matematika. Selain untuk menyusun tujuan pembelajaran di sekolah untuk ilmu alam, kurikulum juga saat itu diakui perannya dalam pelajaran lain seperti sejarah maupun bahasa Inggris. Saat itu kurikulum sudah dipakai sebagai rancangan untuk mengatur dan mengelola sejumlah pengetahuan dari pengajaran yang telah dilakukan oleh guru. Sejarah kurikulum juga dapat dijelaskan ketika The Commite Of Ten yang merupakan sebuah kelompok praktisi dan ahli pendidikan di Amerika pada tahun 1982 merekomendasikan standar kurikulum untuk sekolah di Amerika. Saat itu akhir 1800-san Amerika Serikat memerlukan standar kurikulum untuk seluruh sekolah. Dan pada waktu itu para ahli pendidikan yang tergabung dalam The Commite Of Ten menganggab bahwa sekolahan di Amerika merupakan sebuah institusi penting bagi generasi muda Amerika karena setelah mereka lulus dari “high school” tersebut akan melanjutkan pendidikan ke Universitas.
             Pertimbangan yang lain adalah sekolah-skolah di Amerika terdiri dari berbagai etnis, ras maupun latar belakang kebangsaan lainnya. Oleh karena itu pemerintah Amerika Serikat mencoba untuk memberikan standar pengajaranbagi seluruh murid yang ada. Untuk menyeklesaikan masalah itu, pemerintah Amerika Serikat melalui lembaga The National Education Association yang di bentuk pada tahun 1982 menunjuk sebuah kelompok kerja yang bernama The Commite Of Ten. Kelompok ini terdiri dari praktisi pendidikan di seluruh  Amerika Serikat dan beberapa ahli pendidikan dari universitas. Kelompok ini dipimpin oleh Charles William Eliot yang merupakan rektor Harvard University.
     Sejumlah refrensi lain mencatat bahwa kurikulum menjadi sebuah kajian yang menarik di sekolah. Misalnya di jelaskan oleh Lewy yang mengatakan bahwa dalam bukunya Fleury terbitan 1686 yang berjudul The History Of Choiche and Method Of Studies menjelaskan kurikulum sudah menjadi topic pembahasan dalam praktik pendidikan di Prancis. Buku Fleury ini awalnya berbahasa Prancis kemudian di terbitkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1695.
     Perkembangan itu mengakibatkan kurikulum digunakan dalam seluruh proses pembelajaran baik formal maupun non formal di seluruh dunia. Dengan kurikulum seluruh proses pendidikan di sekolah maupun lembaga pendidikan sangat terbantu karena adanya perencanaan yang lebih sistematis. Dengan kurikulum juga kalangan praktisi pendidikan melihatnya sebagai sebuah kemajuan yang signifikan dalam praktik pendidikan karena dapat mentransformasikan pengetahuan, informasi, perasaan, emosi, nilai maupun keahlian kepada peserta didik.
    Dalam perkembangannya kurikulum mulai menjadi suatu disiplin ilmu yang lebih mandiri. Di luar negri kurikulum menjadi sebuah “the subject of curriculum studies”. Perkembangan ini terjadi sekitar awal abad ke-20 seiring dengan perkembangan signifikan kurikulum dala proses pendidikan di sekolah. Ada kesamaan cara pandang  di kalangan ilmuwan pendidikan bahwa kurikulum sudah berkembang baik secara teoritis maupun praktis yang menjelaskan seluruh proses kurikulum di sekolah sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang relevan serta mandiri.[3]    

C.    Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia
    Pada dasarnya, perkembangan kurikulum di Indonesia brpijak dari perkembangan pendidikan di Indonesia itu sendiri. Secara formal, sejak zaman Belanda sudah ada sekolah, dan artinya kurikulum sudah ada.
      Pada zaman belanda pelaksanaan pendidikan dan persekolahan memiliki cirri khas, yang mana kurikulum pendidikan di warnai oleh misi penjajahan Belandda. Begitu juga halnya dengan kurikulum zaman Jepang, sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan atau tujuan pendidikan pada zaman ini adalah untuk menciptakan sumber daya manusia yang dapat membantu misi penjajahan di tanah air. Belanda, misalnya  dengan memanfaatkan pribumi untuk mengeruk kekayaan alam seoptimal mungkin, sedangkan Jepang dikenal dengan “Asia Timur Raya” dalam membantu  misinya dalaam peperangan.[4]
    Adapun pembaharuan kurikulum biasanya di mulai dari perubahan konsepsional yang fundamental yang dikuti oleh perubahan struktural. Pembaharuan dikatakan bersifat sebagian bila hanya terjadi pada komponen tertentu saja misalnya pada tujuan saja, isi saja, metode saja, atau sistem penilaian saja. Pembaharuan kurikulum bersifat menyeluruh bila mencakup perubahan semua komponen kurikulum.
    Sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 telah mengalami beberapa kali perubahan dan perkembangan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,2002, 2004, 2006 (KTSP) dan tahun 2013. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi dan implikasi terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi dan perkembangan iptek dalam masyarakat berbangsan dan bernegara.[5]
Adapun sejarah perjalanan kurikulum di Indonesia dari masa ke masa adalah sebagai berikut:
a.       Kurikulum 1947 (rencana pelajaran)
Kurikulum pertama yang lahir setelah Indonesia merdeka di sebut rencana pelajaran atau dalam bahasa Belanda leer plan. Kurikulum 1947 di landasi dengan semangat zaman dan suasana kehidupan berbangsa dengan spirit merebut kemerdekaan maka pendidikan pada waktu itu lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain, kesadaran bernegara dan masyarakat. Materi pelajaran di hubungkan dengan kejadian dan kehidupan sehari-hari serta memberikan perhatian terhadap pendidikan kesenian dan pendidikan jasmani. Rencana pembelajaran 1947 baru secara resmi di laksanakan di sekolah-sekolah mulai tahun 1950. Bentuk kurikulum ini memuat dua hal pokok yaitu; daftar mata pelajaran dan jam pelajaran, di sertai dengan garis-garis besar pengajaran.[6]
b.      Kurikulum 1952 (rencana pelajaran terurai)
     Setelah rencana pelajaran 1947, pada tahun 1952 kueikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan, selanjutnya tujuan pendidikan dan pengajaran republik Indonesia pada waktu itu ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Sistem pendidikan pada masa ini dinamakan Sistem Panca Wardana atau sistem lima aspek perkembangan yaitu;
1.      Perkembangan moral : pendidikan kemasyarakatan, pendidikan agama atau budi pekerti.
2.      Perkembangan intelegensi: bahasa Indonesia, bahasa Daerah, berhitung dan pengetahuan alamiah.
3.      Perkembangan emosional artistik (rasa keharuan): seni sastra atau musik, seni lukis atau rupa, seni tari dan seni sastra atau drama.
4.      Perkembangan keprigelan: pertanian atau peternakan, indusri kecil atau pekerjaan tangan, koperasi atau tabungan, dan keprigelan-keprigelan yang lain.
5.      Perkembangan jasmaniah: pendidikan jasmaniah, pendidikan kesehatan.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional, yang paling menonjol dan sekaligus cirri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana mata pelajarannya jelas sekali.
c.       Kurikulum 1964 (rencana pendidikan)
     Di penghujung era pemerintah presiden Sukarno menjelang tahung 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia, kurikulum ini di beri nama rencana pendidikan 1964 atau kurikulum 1964, tujuan pendidikan pada masa ini adalah membentuk manusia Pancasila dan Manipol/Usdek yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat adil dan makmur, materil dan spiritual.[7]
d.      Kurikulum 1968
Lahirnya kurikulum 1968 sebagai perubahan dari kurikulum 1964 dipengaruhi oleh kelompok perubahan sistem politik dari pemerintahan rezim orde lama ke rezim pemerintahan orde baru, kurikulum 1968 menggantikan rencana pendidikan 1964 yang diceritakan sebagai produk Orde Lama.
        Dari segi tujuan pendidikan, kurikulum 1968 di arahkan pada upaya untuk membentuk manusia pancasila sejati, kuat dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan di arahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
e.       Kurikulum 1975/1976
Pembaruan kelima terjadi dengan diterbitkannya kurikulum 1975/1976. Kurikulum 1975 untuk SD/SMP dan SMA sedangkan kurikulum 1976 untuk sekolah Keguruan yaitu SPG dan Sekolah Menengah Kejurusan (STM/SMK)
f.       Kurikulum 1984
     Kurikulum 1975 hingga menjelang akhir 1983 di anggab sudah tik relevan lagi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dari itu keputusan politik yang menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 kepada kurikulum 1984, karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 menjadi kurikulum 1984.[8]
g.      Kurikulum 1994
      Kurikulum 1994 lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya yaitu mengkombinasikan antara kurikulum 1975 yang berorentasi pada tujuan dan pendekatan proses yang dimiliki kurikulum 1984, kurikulum 1994 di buat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan UU No.2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Hal yang sangat menonjol dari kurikulum 1994 adalah program wajib belajar 9 tahun dan adanya kurikulum lokal, dan tentunya , bamyak lagi hal lain yang khas sendiri, sesuai dengan kebutuhan dan perubahan yang ada pada zaman dimana kurikulum itu berubah.[9]
h.      Kurikulum Berbasis Kompetensi Tahun 2002 dan 2004
Setelah kurikulum 1994 dirasa tidak lagi sesuai dengan dunia pendidikan Indonesia, selanjutnya pemerintah merumuskan sebuah kurikulum yang dirumuskan oleh pemerintah tersebut adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Secara umum, pada era reformasi ini prinsip implementasi kurikulum 2002 adalah lahirnya KBK, yang meliputi antara lain: kegiatan belajar mengajar (KBM), penilaian berbasis kelas, dan pengelolaan kurikulum berbesis sekolah. Dan pada masa ini juga perubahan sistem, yaitu dari sistem catur wulan ke sistem semester. Dalam hubungan KBM, proses belajar tidak hanya berlangsung di lingkungan sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat.[10]
i.        Kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran)
Awal 2006 uji coba KBK di hentikan, dan muncullah KTSP. Di susun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya diterapkan oleh menteri pendidikan nasional melalui Permendiknas nomer 22, 23 dan 24 tahun 2006.
KBK disempurnakan dengan KTSP karena hasilnya kurang signifikan, hal ini menurut Mansur Muslich disebabkan beberapa faktor:
1.      Konsepnya belum bisa di pahami secara benar oleh guru sebagai ujung tombak di kelas, akibatnya ketika guru melakukan penjabaran materi tidak sesuai dengan KBK.
2.      Draf kurikulum yang terus menerus mengalami perubahan akibatnya, guru mengalami kebingungan rujukan sehingga muncul ketidak beraturan dalam penerapan.
Belum adanya panduan setrategi pembelajaran yang bisa dipakai guru ketika akan melaksanakan tugs intruksional bagi siswanya, akibatnya ketika melaksanakan pembelajaran, guru hanya mengandalkan pengalaman yang telah dimilikinya, yang mayoritas berbasis materi sehingga tidak ada kemajuan yang berarti.
Maka dari itu kurikulum 2006 yang diperkenalkan dengan nama KTSP di luncurkan, untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Dalam hal ini KTSP merupakan hasil dari penegasan atau sejalan dengan kebijakan desentralisasi. Ini merupakan sebuah konsep yang indah karena memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada daerah untuk berkembang. Dengan ini seluruh potensi setempat di harapkan dapat di daya gunakan demi pengembangan setempat. Dalam lingkup satuan pendidikan atau sekolah, paradigm yang sama juga ingin diberlakukan, yakni satuan pendidikan menjadi mandiri dan diberi kesempatan mengerahkan seluruh potensi demi kemajuan pendidikan yang kontekstual, meski harus disadari, hal ini tidak mudah di laksanakan.[11]
j.        Kurikulum 2013 (K13)
Dalam konteks nasional, kebijakan perubahan kurikulum merupakan politik pendidikan yang berkaitan dengan kepentingan berbagai pihak, bahkan dalam pelakasanaannya seringkali dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan. Sekolah sebagai pelaksana pendidikan, baik pengawas, kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan nonguru, maupun peserta didik sangat berkepentingan dan akan terkena imbasnya secara langsung dari setiap perubahan kurikulum. Di samping itu orang tua, dan masyarakat pada umumnya, dunia usia industry, serta para birokrat, baik dipusat maupun di daerah akan terkena dampak dari perubahan kurikulum tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demikian halnya perubahan kurikulum KTSP 2006 menjadi kurikulum 2013 akan memberikan dampak berbagai pihak.
Berkaitan dengan perubahan kurikulum, berbagai pihak menganalisis dan melihat perlunya diterapkan kurikulum berbasis kompetensi sekaligus berbasis karakter, yang dapat membekali peserta didik dengan berbagai sikap dan kemampuan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tuntutan teknologi. Hal tersebut penting, guna menjawab tantangan arus globalisasi, berkontribusi pada pembangunan masyarakat dan kesejahteraan sosial, lentur, serta adaptif terhadap berbagai perubahan. Kurikulum berbasis karakter dan kompetensi diharapkan mampu memecahkan berbagai persoalan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan, dengan mempersiapkan peserta didik, melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap sistem pendidikan secara efektif, efisien dan berhasil. Oleh karena itu, merupakan langkah yang positif ketika pemerintah merevitalisasi pendidikan karakter dalam seluruh jenis dan jenjang pendidikan, termasuk dalam pengembangan Kurikulum 2013.
Pendidikan karakter dalam Kurikulum 2013 bertujuan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan, yang mengarah pada pembentukan bbudi pekerti dan akhlaq mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan. Melalui impkementasi Kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi sekaligus berbasis karakter, dengan pendekatan tematik dan kontekstual diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-sehari. 
Meskipun demikian, kurikulum ini tidak dapat dig unakan untuk memecahkan seluruh permasalahan pendidikan. Waktu terus berlalu tanpa kompromi, tetapi DPR belum menyetujui rencana kemendikbud untuk melakukan perubahan kurikulum. Rencana pun telah di ubah kembali yang semula kurikulum 2013 akan di implementasikan pada 30% SD, dan 100% untuk SMP, SMA, dan SMK, di ubah hanya menjadi 5% SD, dan 7% untuk SMP, SMA, dan SMK, itu pun masih tarik ulur, belum mendapat restu DPR. Tahun 2013 dilakukan pilot projek pada beberapa Kurikulum 2013.
      Dalam implementasi Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi, pendidikan karakter bukan hanya tanggung jawab sekolah semata, tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak yaitu, orang tua, pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan rencana, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran di mulai dari analisis karakter dan dan kompetensi yang akan dibentuk, atau yang diharapkan, muncul setelah pembelajaran. Bedanya dengan kurikulum lain, Kurikulum 2013 lebih fokus dan berangkat dari karakter serta kompetensi yang akan dibentuk, baru memikirkan untuk mengembangkan tujuan yang akan dicapai. Semua komponen lebih diarahkan pada pembentukan karakter dan kompetensi peserta didik yang akan diharapkan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam hal ini, semakin banyak yang terlibat dalam pembentukan karakter dan kompetensi akan semakin efektif hasil yag diperoleh. Oleh karena itu, untuk mengefektifkan program pendidikan karakter dan meningkatkan kompetensi dalam kurikulum2013 diperlukan koordinasi, komunikasi dan jalinan kerja sama antara sekolah, orang tua, masyarakat dan pemerintah baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengawasannya.[12]
D.      Urgensi Peranan Kurikulum  Dalam Pembelajaran
Sebagai program pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis, kurikulum mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan siswa. Apabila di analisis sifat dari masyarakat dan kebudayaan, dengan sekolah sebagai intuisi sosial dalam melaksanakan operasinya, maka dapat ditentukan paling tidak tiga peranan kurikulum yang sangat penting, yakni peranan konservatif, peranan kritis atau evaluatif, dan peranan kreatif. Ketiga peranan ini sama penting dan perlu dilaksanakan secara seimbang.
1.      Peranan Konsevatif
Salah satu tanggung jawab kurikulum adalah mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial pada generasi muda. Dengan demikian, sekolah sebagai suatu lembaga sosial  dapat mempengaruhi dan membina tingkah laku siswa sesuai dengan berbagai nilai sosial yang ada dalam masyarakat, sejalan dengan peranan pendidikan sebagai suatu proses sosial. Ini sering dengan hakikat pendidikan itu sendiri, yang berfungsi sebagai jembata antara para siswa selaku anak didik dengan orang dewasa, dalam suatu proses pembudayaan yang semakin berkembang menjadi lebih kompleks. Oleh karenanya, dalam kerangka ini, fungsi kurikulum menjadi teramat penting., karena ikut membantu proses tersebut.
2.      Peranan Kritis atau Evaluatif
Kebudayaan senantiasa berubah dan bertambah. Sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan yang ada, melainkan juga menilai dan memilih sebagai unsur kebudayaan yang akan diwariskan. Dalam hal ini, kurikulum turut aktif berpartisipasi dalam control sosial dan member penekanan pada unsure berpikir kritis. Nilai-nilai sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan di masa mendatang dihilangkan, serta diadakan modifikasi dan perbaikan. Dengan demikian, kurikulum harus merupakan pilihan yang tepat atas dasar criteria tertentu.
3.      Peranan Kreatif
Kurikulum berperan dalam melakukan berbagai kegiatan kreatif  dan konstruktif, dalam artian menciptakan dan menyusun suatu hal yang baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat di masa sekarang dan masa menddatang. Untuk mambantu setiap individu dalam mengembangkan semua potensi yang ada padanya, maka kurikulum menciptakan pelajaran, pengalaman, cara berpikir, kemampuan, dan keterampilan yang baru, yang memberikan manfaat bagi masyarakat.
          Ketiga peran kurikulum tersebut harus berjalan secara seimbang, atau dengan kata lain terdapat keharmonisan di antara ketiganya. Dengan demikian, kurikulum dapat memenuhi tuntutan waktu dan keadaan dalam membawa siswa menuju kebudayaan masa depan.[13]    
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.   Definisi kurikulum dapat dimaknai dalam tiga konteks, yaitu:
a.       Kurikulum sebagai jumlah mata pelajaran
b.      Kurikulum sebagai pengalaman belajar
c.       Kurikulum sebagai perencanaan program belajar
2.   Periodesasi sejarah kurikulum di Indonesia
a.       Pra kemerdekaan
b.      Masa Orde Lama
c.       Masa Orde Baru
d.      Masa Reformasi
3.   Peranan Kurikulum  Dalam Pembelajaran
a.       Peranan Konservatif
b.      Peranan Kritis atau Evaluatif
c.       Peranan Kreatif


[1]  Muhammad  Zaki, Pengembangan Kurikulum, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1996), hal 4
[2]  Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hal 4-5
[3]   Rahmat Hidayat, Pengantar Sosiologi Kurikulum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011) hal 3-5
[4]   Abdulloh Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Jogjakarta, Ar-ruzz Media, 2007) hal 15
[5]    Sholeh Hidayat, Pengembangan Kurikulum Baru, (Bnadung, PT:Remaja Rosdakarya, 2013) hal 1
[6]    Ibid hal 2
[7] Abdulloh Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Jogjakarta, Ar-ruzz Media, 2007) hal 20-21

[8] Nur  Shaleh, Pengembangan Kurikulum Bahasa Arab, (Jogjakarta,: Diva Prees, 2013) hal 120
[9]    Abdulloh Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Jogjakarta, Ar-ruzz Media, 2007) hal 42
[10]   Ibid hal 43
[11]   Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), hal 95
[12]  H. E Mulyasa, Pengembangan Implementasi Kurikulum 2013 (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2015) hal `4-6
[13]  Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2008), 11-13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar