Senin, 22 April 2019

kurikulum dan landasan FILOSOFIS



PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kurikulum merupakan rencana dan rancangan pendidikan yang memiliki posisi sentral dalam seluruh proses pembelajaran. Tanpa adanya kurikulum proses pembelajaran tidak akan berhasil dengan baik, bagai kapal tanpa nahkoda. Kapal itu akan berlayar tanpa arah karena tidak mempunyai tujuan yang jelas.
Landasan kurikulum adalah faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh para pengembangan kurikulum ketika akan merencanakan dan mengembangkan kurikulum lembaga pendidikan.
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan sebuah kurikulum. Yaitu landasan filosofis, psikologi, sosial budaya, dan perkembangan ilmu dan teknologi.
Salah satunya adalah landasan filosofis. Sekolah tanpa filsafat laksanakan kapal tanpa kemudi. Filsafat yang berbeda atau bertentangan di kalangan pendidikan tak akan membawa bahtera pendidikan ke arah tujuan tertentu. Pada makalah ini, akan dibahas asas filosofis yang mendasari sebuah kurikulim pendidikan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana asas filosofis yang mendasari kurikulum?
2.      Bagaimana pengaruh asas filosofis terhadap kurikulum pendidikan di Indonesia?







PEMBAHASAN

A.    Asas Filosofis yang mendasari kurikulum
Sekolah bertujuan mendidik anak agar menjadi manusia yang baik. Apakah yang dimaksud dengan baik pada hakikatnya ditentukan oleh nilai-nilai, cita-cita atau filsafat yang dianut negara, tapi juga guru, orang tua, masyarakat, bahkan dunia. Perbedaan filsafat dengan sendirinya akan menimbulkan perbedaan dalam tujuan pendidikan, jadi bahan pelajaran yang disajikan, mungkin juga cara mengajar dan menilainya.[1]
Kurikulum merupakan pedoman mendasar dalam proses belajar dan mengajar di dunia pendidikan. Berhasil tidaknya suatu pendidikan, mampu tidaknya seorang anak didik dan pendidik dalam menyerap dan memberikan pengajaran, dan sukses tidaknya suatu tujuan pendidikan itu dicapai tentu akan sangat berpulang kepada kurikulum.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya perananan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Kalau landasan pembuatan gedung tidak kokoh, yang akan ambruk adalah gedung tersebut, tetapi kalau landasan pendidikan, khususnya kurikulum yang lemah, maka yang akan ambruk adalah manusianya.
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum. Salah satunya yakni landasan filosofis. Secara harifiah filosofis atau filsafat berarti “cinta akan kebijakan” (love of wisdom). Orang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti, dan berbuat secara bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu dan berpengalaman. Pengetahuan itu diperoleh melalui proses berfikir, yaitu berfikir secara sistematis, logis, dan mendalam. Pemikiran tersebut dalam filsafat sering disebut dengan pemikiran radikal, atau berfikir sampai ke akar-akarnya. Secara akademik, filsafat artinya upaya untuk menggambarkan atau menyatakan suatu pandangan yang sistematis dan komprehensif mengenai alam semesta, dan kedudukan manusia di dalamnya. Berfilsafat berarti menangkap sinopsis peristiwa-peristiwa yang simpangan siur dalam pengelaman manusia. Suatu cabang ilmu pengetahuan mengkaji satu bidang pengetahuan manusia, daerah cakupannya terbatas. Filsafat mencakup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat segala yang ada ini sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba mengetahui kedudukan manusia di dalamnya. Sering dikatakan bahwa filsafat adalah ibu dari segala ilmu.[2]
Falasafah dalam arti sebenarnya adalah cinta akan kebenaran, yang merupakan rangkaian dari dua pengertian, yakni philein (cinta) dan shopia (kebajikan). Dalam batasan modern, filsafat diartikan sebagai ilmu yang berusaha memahami semua hal yang muncul di dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia, yang berharap agar manusia dapat mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis menganai alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. Intinya manusia merupakan bagian dari dunia.[3]
Falsafah membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk masalah-masalah pendidikan, walaupun dilihat sepintas, filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran dilosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan, tetapi antara keduannya yaitu antara filsafat dan filsafat pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat. Menurut Donald Butler, filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktik pendidikan, sedangkan praktik pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan folosofis. Keduanya sangat berkaitan erat, malah menurut Butler menjadi satu.[4]
Sebagai induk dari semua pengetahuan (the mother of knowledge), filsafat dapat dirumuskan sebagai kajian tentang:[5]
a.       Metafisik,yakni studi tentang hakikat kenyataan atau realita
(Apakah hakikat kenyataan atau realitas?)
b.      Epistimologis, yakni studi tentang hakikat pengetahuan
(Apakah hakikat pengetahuan?)
c.       Aksiologi, yakni studi tentang nilai
(Apakah hakikat nilai?)
d.      Etika, yakni studi tentang hakikat kebaikan
(Apakah hakikat kebaikan?)
e.       Estetika, yakni studi tentang hakikat keindahan
(Apakah hakikat keindahan?)
f.        Logika, yakni studi tentang hakikat penalaran
(Apakah hakikat penalaran?)
Pengembangan kurikulum yang mempunyai posisi yang jelas tentang pertanyaan-pertanyaan filosofid di atas telah memiliki dasar yang memungkinkannya mengambil keputusan yang sehat dan konsisten akan tetapi dalam mengembangkan kurikulum ia tidak hanya menonjolkan falsafah pribadinya, akan tetapi harus mempertimbangkan falsafah negara, falsafah lembaga pendidikan serta staf pengajarannya.[6]
Dibawah ini diberikan uraian singkat mengenai tiga falsafah yang harus dipertimbangkan dalam asas kurikulum, antara lain
a.       Falsafah bangsa
Setiap negara mempunyai suatu falsah atau pandangan pokok mengenai pendidikan. Kurikulum harus memperhatikannya dalam pengembanganny agar dapat memelihara keutuhan nasional. Namun ada pula golongan atau unit politik yang mempunyai pandangan tertentu tentang pendidikan. Demikian pula tiap orang berkat pengalaman masing0masing dapat mempunyai pandangan pribadi yang mungkin tidak sama sepenuhnya dengan pendirian umum. Kesulitannya ialah bagaimana menggembleng berbagai pandangan itu dalam satu kerangka pemikiran yang kosisten yang dapat membantu proses pengembangan kurikulum yang dapat diterima oleh semua pihak.
Namun bagaimana hakikat falsafah nasional, falsafah itu selalu harus dijadikan kerangka utama yang mengendalikan penyelenggaraan lembaga-lembaga pendidikan di negara yang bersangkutan dan oleh karena itu akan mempengaruhi semua keputusan dalam pengembangan kurikulum.
b.      Falsafah lembaga pendidikan
Kita sebagai warga negara Indonesia telah memiliki falsafah nasional yang tegas, yaitu Pancasila, yang berfungsi sebagai pegangan bagi lembaga pendidikan untuk pengembangan falsafah atau pendangan masing-masing sesuai dengan misi dan tujuan nasional serta nilai-nilai masyarakat yang dilayaninya. Setiap lembaga pendidikan mempunyai misi dalam rangka sistem pendidikan nasional, namun tiap lembaga mempunyai di daerah lain. Demikian pula tiap fakultas atau jurusan menunjukkan suatu kekhasan dalam pandangannya dan kareba itu mempunyai pendekatan yang agak berbeda dalam pengembangan kurikulum serta penyelenggaraan pendidikan. Jadi walaupun banyak persamaan diantara berbagai fakultas atau jurusan, seperti juga halnya dengan sekolah, namun ada pula perbedaan vital dengan fakultas, jurusan atau sekolah lainnya. Masing-masing bila ditinjau dari segia metafisika, epistimologi, aksiologi, etika, estetika, dan logika.
Dalam kebanyakan hal, falsafah suatu lembaga pendidikan (universitas, institut, fakultas, jurusan maupun sekolah) jarang sekali dinyatakan secara spesifik dan eksplisit dalam bentuk tertulis. Sering pula rumusan falsafah itu sedemikian rupa umumnya sehingga tidak mampu memberikan arah yang jelas bagi proses pengembangan kurikulum.
Dalam merumuskan falsafah lembaga pendidikan secara tertulis, setidaknya harus dicantumkan hal-hal sebagai berikut:
-        Alasan rasional tentang eksistensi lembaga pendidikan
-        Prinsip-prinsip pokok yang mendasarinya
-        Nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi
-        Prinsip-prinsip pendidikan mengenai hakikat anak-siswa, hakikat proses belajar mengajar, hakikat pengetahuan
Dalam falsafah lembaga pendidikan tidak dimasukkan pertanyaan operasional, atau hal-hal yang spesifik. Tertentuk saja falsafah jurusan dan fakultas harus konsisten dengan falsafah institut atau universitas yang selanjutnya harus konsisten denga falsafah bangsa dan negara.
c.       Falsafah pengajaran/guru
Setiap guru harus mempunyai gambaran yang jelas mengenai lembaga pendidikan tempat ia bekerja. Sebaiknya falsafah guru sendiri konsisten dengan falsafah sekolah agar ia dapat membimbing siswa ke arah tujuan pendidikan seperti dirumuskan dalam kurikulum. Dalam pelaksaan kurikulum guru selalu terlibat dan karena itu memasukan falsafah dalam perencaan, organisasi penyampaian pelajaran.
Pengembangan kurikulum harus menyadari kemungkinan adanya berbagai macam falsafah yang dianut para pengajaran. Ada empat aliran filsafat yang utama yakni idealisme, realisme, pragmatisme dan eksistensialisme. Kurikulum atau pelaksanaannya yang didasarkan atas salah satu aliran filsafat akan berbeda bila dipakai aliran filsafat yang lain. Misalnya bila kita menganut aliran filsafat idealisme, maka kita berusahan mencari kebenaran yang ditentukan oleh otoritas dari “atas” dengan yang telah menemukan kebenaran “abadi” yang “tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas”, yang tahan terhadap “gerogotan” zaman.
Bila realismeri, kita jadikan dasar pemikiran, maka ketika kita mencari kebenaran harus didasarkan pada hukum alam dan karena itu terbuka bagi percobaan-percobaan untuk mencari kebenaran baru.
Bila kita berpegang pada pragmatisme, maka kebenaran kita pandang sebagai segala sesuatu yang dapat memperbaiki hidup umat manusia dan karena itu menaruh perhatian terhadap masalah-masalah sosial yang kritis yang mengancam kesejahteraan manusia.
Dan akhirnya bila kita seorang eksistensiialisme, maka kita mencari kebenaran sendiri secara individual dengan mengadakan analisis diri serta mengembangkan prinsip-prinsip internal dalam usaha untuk merealisasikan diri. Tidak ada orang yang secara ekstrim berpegang pada salah satu aliran filsafat. Semua orang menganut semua aliran itu dalam proporsi yang berlainan menurut situasi dan kondisi masing-masing, mungkin dengan mengutamakan salah satu diantaranya.[7]
Pandangan mengenai sesuatu yang baik dan berbagai aspek lainnya, tentu berbeda-beda secara esensial berdasarkan aliran masing-masing. Dibawah ini dijelaskan aliran-aliran filsafat yang dominan antara lain:
1.      Aliran Perennialisme
Airan ini bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual anak melalui pengetahuan yang “abadi, universal dan absolut” atau “perennial” yang ditemukan dan dicipatakan para pemikiran unggul sepanjang masa, yang dihimpun dalam “the Great Books” atau “Buku Agung”. Kebenaran dalam buku itu berthan tegus terhadap segala perubahan zaman.[8] Selain itu, tujuan hidup pada aliran ini adalah mencari matafisik spiritual melalui inkuiri yang cermat, dengan cara mempelajari berbagai macam buku dari penulis ulang yang telah menemukan kebenarannya.[9]
Kurikulum yang diinginkan oleh aliran ini terdiri atas subjeet atau mata pelajaran yang terpisah sebagai disiplin ilmu dengan menolak penggabungan seperti IPA atau IPS. Hanya mata pelajaran yang sungguh mereka anggap dapat mengembangakan kemampuan intelektual seperti matematika, fisika, kimia, biologi yang diajarkan, sedangkan yang berkenaan emosi dan jasmani seperti seni rupa, olah raga sebaiknya dikesampingkan. Pelajaran yang diberikan termasuk pelajaran yang sulit karena memerlukan intelegensi tinggi. Kurikulum ini memberi persiapan yang sungguh bagi studi di perguruan tinggi.[10]
2.      Aliran Idealisme
Filsafat ini berpendapat bahwa kebenaran itu berasal dari “atas”, dari dunia supra-natural dari Tuhan. Boleh dikatakan hampir semua agama menganut filsafat idialisme. Kebenran dipercayai datangnya dari Tuhan yang diterima melalui bersifat mutlak. Apa yang datang dari Tuhan baik dan benar. Tujuan hidup ialah memenuhi kehendak Tuhan.
Filsafat ini umumnya diterapkan di sekolah yang berorientasi religius. Semua siswa diharuskan mengikuti pelajarn agama, menghadiri khotbah dan membaca Kitab suci. Biasanya disiplin termasuk ketat, pelanggaran diberi hukuman yang setimpal bahkan dapat dikeluarkan dari sekolah. Namun pendidikan intelektual juga sangat diutamankan dengan menentukan standar mutu yang tinggi.
3.      Filsafat realisme
Filsafat realisme mencari kebenaran di dunia ini sendiri. Keluarga pengamatan dan penelitian ilmiah dapat ditemukan hukum-hukum alam. Mutu kehidupan senantiasa dapat ditingkatkan melalui kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan hidup pada aliran ini adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan pemahaman manusia tentang jagad raya melalui penelitian ilmiah.
Sekolah yang beraliran realisme mengutamakan pengetahuan yang sudah mantap sebagai hasil penelitian ilmiah yang dituangkan secara sistematik dalam berbagai disiplin ilmu atau mata pelajaran. Di sekolahan akan dimulai dengan teori-teori dan prinsip-prinsip yang fundamentalm kemudian praktik dan aplikasinya.
Karena mengutamakan pengetahuan yang esensial, maka pelajaran “embel-embel” seperti keterampilan dan kesenian dianggap tidak perlu.
Kurikulum ini tidak memeperhatikan minat anak, namun diharapkan agar menaruh minat terhadap pelajar akademis. Ia harus sungguh-sungguh mempelajari buku-buku berbagai disiplin ilmu. Penguasaan ilmu yang banyak berkat studi yang intensif adalah persiapan yang baik-baiknya bagis lanjutan studi dan kehidupan dalam masyarakat. Dapat dibayangkan banyaknya murid yang tidak mampu mengikuti studi akademis serupa ini.[11]
4.      Aliran Pragmatisme
Aliran ini juga disebut aliran instrumentalisme atau utilitarianisme dan berpendapatn bahwa kebenaran adalah buatan manusia berdasarkan pengalamannya. Tidak ada kebenaran mutlak, kebenaran akibat baik bagi masyarakat.[12] Tujuan hidup menurut aliran ini adalah untuk mencari kebeneran sosial yang menguntungkan bagi umat manusia dengan lingkungannya dengan menerapkan prinsip falsafah sosial yang humanistik melalui trial and error. Kebenaran dipandang sesuatu yang memeperbaiki hidup umat manusia, karenanya menaruh perhatian terhadap masalah sosial yang kritis yang mengancam kesejahteraan manusia.[13]
Tugas guru bukan mengajarkan dalam arti menyampaikan pengetahuan, melainkan memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan berbagai kegiatan guna memecahkan masalah, atas dasar kepercayaan bahwa belajar itu hanya dapat dilakukan oleh anak sendiri, bukan karena “dipompakan ke dalam otaknya”. Yang penting ialah bukan “what to think” melainkan “how to think” yaknik melalui pemecahan masalah. Pengetahuan diperoleh bukan dengan mempelajari mata pelajaran, melainkan karena digunakan secara fungsional dalam memecahkan masalah.
Aliran pragmatisme sering sejalan dengan aliran rekonstruksionisme yang berpendiriran bahwa sekolah harus berada pada garis depan pembangunan dan perubahan masyarakat. Sekolah ini menjauhi indokrinasi dan mengajak siswa secara kritis menganalisi isu-isu sosial.
Dalam perencanaan kurikulum orangtua dan masyarakat sering dilibatkan agar dapat memadukan sumber pendidikan formal dengan sumber sosial, politik, dan ekonomi guna memperbaiki ekonomi kondisi hidup manusia. Banyak di antara penganut aliran ini memandang sekolah sebagai masyarakat kecil.[14]
5.      Aliran Eksistensialisme
Filsafat ini mengutamakan individu sebagai, faktor dalam menentukan apa yang baik dan benar. Norma-norma hidup hidup menentukan apa yang baik dan benar. Norma-norma hidup berbeda secara individual dan ditentukan masing-masing secara bebas, namun dengan pertimbangan jangan menyinggung perasaan orang lain. Tujuan hidup menurut aliran ini adalah untuk menyempurnakan diri sesuai norma yang dipilih sendiri secara bebas dapat merealisasikan diri.[15]
Sekolah yang berdasarkan eksistensialisme mendidik anak agar ia menentukan pilihan dan keputusan dengan menolak otoritas orang lain. Ia juga bebas berpikir dan mengambil keputuasan sendiri secara bertanggungjawab. Sekolah ini menolak segala kurikulum, pedoman, intruksi, buku wajib, dan lain-lain dari pihak luar. Anak harus mencari identitasnya sendiri. Dengan sendiriannya mereka tidak dipersiapkan untuk menempuh ujian nasional.
Dari segala mata pelajaran, mungkin ilmu-ilmu sosial yang oaling manarik mereka. Pendidikan moral tidak diajarkan kepada mereka, juga tidak ditetapkan aturan-aturan yang harus meraka patuhi. Bimbingan yang diberikan sering bersifat non-directive, dimana guru banyak mendengarkan dan mengajukan pertanyaan tanpa mengingatkan apa yang harus dilakukan anak.
Cicero memandang filsafat sebagai ilmu tentang hal-hal yang semuluk-muluknya. Filsafat ialah “induk segala ilmu”. Tujuan filsafat ialah membentuk suatu pandangan yang sistematis tantang keseluruhan ilmu. Ini berarti bahwa seorang ahli filsafat harus dapat mencernakannya dan mengasimilasikannya berkat proses yang disebut berpikir. Pekerjaan ini sangat sulit dan tak mungkin dilakukan oleh orang biasa. Ilmu pengetahuan dewasa ini sangat luas dan pelik dan tak mungkin lagi bagi seorang untuk menguasainnya, bahkan satu cabang disiplin ilmu sekalipun sulit dikuasai sepenuhnya. Dalam arti ini, tak mungkin setiap orang mempunyai filsafat, maka kata itu digunakan dalam arti yang berlainan, yakni sebagai “suatu sistem nilai-nilai”, suatu pandangan hidup. Manusia telah menemukan tenaga atom berkat kemajuan ilmu pengetahuan, akan tetapi bila ditanya, untuk apakah tenaga itu digunakan, untuk perang yang dapat menghancurkan umat manusia atau untuk peningkatan kehidupan manusia, maka kita memasuki lapangan nilai-nilai atau filsafat. Ilmu menemukan pengetahuan dan teknologi, akan tetapi penggunaannya ditentukan oleh filsafat atau nilai-nilai.
 Karena filsafat ditafsirkan sebagai sistem nilai-nilai, apakah setiap orang dapat mempunyai suatu filsafat sendiri? Filsafat dengan pengertian ini telah ada sejak ada manusia di bumi ini, sejak Adam dan Hawa. Dalam arti ini filsafat bukanlah sesuatu yang maha sulit dan pelik, melainkan sesuatu yang biasa yang dapat dimiliki setiap orang yang berfikir dan mencoba menafsirkan makna dan nilai hidup bagi dirinya, dan mencari suatu sistem nilai-nilai yang menjadi pegangannya dalam menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya dan dengan demikian memberi corak tertentu kepada kelakuannya. Filsafat ialah pendapat yang sejujur-jujurnya tentang makna hidup baginya.
Walaupun tiap orang pernah berfikir tentang apa arti hidup ini baginya, belum tentu ia dikatakan mempunyai suatu filsafat hidup. Sering seorang kurang sadar dan kurang jelas mengetahui nilai-nilai apa yang dianutnya. Pandangan hidup kabar, tak konsisten, tak berakar prinsip-prinsip yang jelas. Kelakuannya tidak menunjukkan corak tertentu.
Filsafat ialah sesuatu yang menunjukkan suatu sistem, yang dapat menentukan arah hidup dan serta menggambarkan nilai-nilai apa yang paling dihargai dalam hidup seseorang. Filsafat serupa inilah yang harus dimiliki setiap guru, setiap pendidikan, agar dapat membantu anak membentuk pandangan hidup yang sehat. Dalam filsafat gurulah terkadang gambaran tentang masyarakat yang akan dibangun, manusia apakah yang harus dibentuk, kurikulum apakah yang akan digunakan. Tujuan, metode, alat pendidikan, pandangan tentang anak, ditentukan oleh filsafat yang dianutnya. Pendidikan yang diberikan berdasarkan filsafat tidak merupakan rangkaian perbuatan mekanis yang lepas-lepas akan tetapi merupakan suatu kebulatan mengarah kepada tujuan tertentu.[16]
6.      John Dewey
Ciri utama filsafat Dewey adalah konsepsinya tentang dunia yang selalu berubah , mengalir, atau on going-ness. Filsafat Dewey lebih berkenan dengan epistomologi dan tekanannya pada proses berpikir. Proses berpikir merupakan satu dengan pemecahan yang bersifat tentatif, antara ide dengan fakta, antara hipotesis dengan hasil. Proses berfikir merupakan proses pengecekan dengan kejadian-kejadian nyata.
Dewey sangat menghargai peranan pengalaman sebagai dasar bagi pengetahuan dan kebijakan. Pengalaman itu mencakup segala aspek kegiatan manusia, baik yang berbentuk aktif maupun pasif. Penalaman selain sebagai sumber dari nilai. Karena pengalaman selalu berubah, maka nilaipun juga berubah.
Pendidikan menurut Jhon Dewey berarati perkembanagan sejak lahir hingga menjelang kematian. Jadi juga berarti bahwa pendidikan merupakan kehidupan. Proses pendidikan bersifat continue, merupakan reorganisasi, rekonstruksi, dan pengubahan pengalaman hidup.
Pengalaman itu bersifat aktif dan pasif. Pengalaman bersifat aktif berarti berusaha, mencoba, dan mengubah. Sedangkan pengalaman pasif berarati menerima dan mengikuti saja. Kalau kita mengalami  sesuatu maka kita berbuat. Sedangkan kalau kita mengikuti sesuatu, maka kita memperoleh akibat atau hasil.
Tujuan pendididkan diarahkan untuk mencapai suatu kehidupan yang demokratis. Demokratis bukan dalam arti politik, melainkan merupakan cara hidup bersama sebagai way of life, pengalaman dan komunikasi bersama. Tujuan pendidikan merupakan usaha atau individu melanjutkan pendidikannya. Tujuan pendidikan terletak pada proses pendidikan itu sendiri, yakni kemampuan dan keharusan induvidu itu sendiri untuk meneruskan perkembanagannya.
Pendidikan sama dengan pertumbuhan. Syarat pertumbuhan adalah adanya kebelumdewasaan (immaturity), yang berarti kemampuan, Untuk berkembang. Ini menunjukan bahwa anak adalah hidup, ia memiliki semangat untuk berbuat.pertumbuhan bukan sesuatu yang harus kita berikan, pertumbuhan adalah sesuatu yang harus mereka lakukan sendiri. Ada dua sifat immaturity, yakni kebergantungan dan berarti kemampuan untuk menyatakan hubungan sosial. Sedangkan plastisitas mengandung pengertian kemampuan untuk berubah, bersikap aktif mengubah lingkungan.
Dalam penyusunan bahan ajar menurut Dewey handaknya memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut:
a.         Bahan ajaran hendaknya konkret, dipilih yang betul-betul berguna dan dibutuhkan, dipersiapkan secara mendetail dan sistematis.
b.        Pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil belajar, hendaknya ditempatkan pada kedudukan yang berarti, yang memungkinkan dilaksanakannya kegiatan baru, dan kegiatan yang lebih menyeluruh.
Bahan pelajaran bagi anak tidak bisa semata-mata diamabil dari buku pelajaran, yang diklasifikasikan dalam mata pelajaran yang terpisah-pisah. Bahan pelajaran harus berisikan kemungkina-kemungkinan yang mendorong siswa untuk giat dan berbuat. Bahan pelajaran harus memberikan rangasangan pada untuk bereksperimen. Bahan pelajaran tidak diberikan dalam disiplin ilmu yang ketat, tetapi merupakan kegiatan yang berkenaan dengan sesuatu masalah (problem).
Peranan guru bukan hanya berhubungan dengan mata pelajaran, melainkan dia harus menempatkan dirinya dalam seluruh interaksinya dengan kebutuhan, kemampuan, dan kegiatan sisiwa. Guru juga harus dapat memilih bahan-bahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan.[17]   

B.     Pengaruh Asas Filosof Terhadap Kurikulum Pendidikan Di Indonesia
Perana filsafat dalam bidang pendidikan berkaitan dengan hasil kajian tentang:
a.    Keberadaan dan kedudukan manusia sebagai makhluk di dunia ini sebagai zoon politicon, homo sapiens, dan sebagainya.
b.    Masyarakat dan kebudayaannya.
c.    Keterbatasan manusia sebagai makhluk hidup yang banyak menghadapi tantangan.
d.   Perlunya landasan pemikiran, dalam pekerjaan pendidikan.[18]
Bangsa Indonesia baru memiliki filsafat umum dan filsafat negara, yaitu pancasila. Sebagai filsafat negara, pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang, dan mewarnai segala bidang kehidupan. Secara konsep memang seharusnya demikian, tetapi dalam praktek cukup sulit hal itu dilaksanakan, karena tindakan manusia dalam praktek kahidupan sehari-hari perlu ditanamkan, dikembangkan, dan dibiasakan sejak kecil. Hal ini berarti erat kaitannya dengan pelaksaan pendidikan.
Pembahasan landasan kependidikan dalam segi filsafat, filsafat kependidikan internasional, filsafat pancasila, dan kemungkinan terbentuknya filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia, memberi dampak konsep tertentu. Karena filsafat pendidikan yang cocok dengan alam dan buadaya Indonesia belum terbentuk, baru filsafat negara yaitu pancasila, maka tidak hanya konsep pendidikan yang bisa diturunkan dari sini. Memang benar ada sejumlah fisafat pendidikan internasional yang sudah tentu berdampak terhadap pendidikan, namun filsafat itu tidak mesti seluruhnya cocok bila diterapkan di indonesia.
Pembangunan di bidang pendidikan di dasarkan atas falsafah pancasila, dan diarahkan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan, mampu mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, mampu mengembangkan kecerdasan yang tinggi, dan disetai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsa dan sesama manusia, sesuai ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945.[19]




KESEIMPULAN

Kurikulum merupakan pedoman mendasar dalam proses belajar dan mengajar di dunia pendidikan. Berhasil tidaknya suatu pendidikan, mampu tidaknya seorang anak didik dan pendidik dalam menyerap dan memberikan pengajaran, dan sukses tidaknya suatu tujuan pendidikan itu dicapai tentu akan sangat berpulang kepada kurikulum.
penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Salah satunya adalah landasan filosofis.
Falsafah membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk masalah-masalah pendidikan, walaupun dilihat sepintas, filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan, tetapi antara keduannya yaitu antara filsafat dan filsafat pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat.















DAFTAR PUSTAKA

Hamalik Oemar. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya

www.Mahendraracollage. Blospot. Com. Diakses tanggal 05 Maret 2016.

Furchan Arief. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: 2005,

Nasution. Asas-asas kurikulu. Jakarta: Bumi Aksara, 1999.

Dakir. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta, 2004

Maunah Binti. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: Teras, 2009

Nasution. Kurikulum & Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara, 2006

Sukmadinata Syaodia Nana. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997

idi Abdullah. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007



[1] Nasution, Asas-asas kurikulum, (Bumi Aksara: Jakarta. 1995), 11
[2] Nana Syaodia Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Remaja Rosdakarya: Bandung. 1997), 34-40
[3] Abdullah idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Ar-Ruzz Media: Yogyakarta. 2007) 68
[4] Nana Syaodia Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik
[5] Abdullah idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik
[6] Nasution, Kurikulum & Pengajaran, (Bumi Aksara: Jakarta. 2006), 14-15
[7] Binti Maunah, Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Teras: Yogyakarta. 2009), 8-11
[8] Nasution, Asas-asas kurikulum, 23
[9] Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, (Rineka Cipta: Jakarta. 2004), 73-74
[10] Nasution, Asas-asas kurikulum, 23
[11] Nasution, Asas-asas Kurikulum, 24
[12] Nasution, Asas-asas kurikulum, 24
[13] Dakir, Perencaan dan Pengembangan Kurikulum, 74
[14] Nasution, Asas-asas kurikulum, 24-25
[15] Dakir, Perencaan dan Pengembangan Kurikulum, 74
[16] Nasution, Asas-asas kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999) 24-27.
[17] Nana Syaodia Sukmadinata, Pengembangan kurikulum Teori dan Praktik, 40-44
[18] www.Mahendraracollage. Blospot. Com. Diakses tanggal 05 Maret 2016
[19] Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Remaja Rosdakarya: Bandung), 65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar