PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kurikulum
merupakan rencana dan rancangan pendidikan yang memiliki posisi sentral dalam
seluruh proses pembelajaran. Tanpa adanya kurikulum proses pembelajaran tidak
akan berhasil dengan baik, bagai kapal tanpa nahkoda. Kapal itu akan berlayar
tanpa arah karena tidak mempunyai tujuan yang jelas.
Landasan
kurikulum adalah faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh
para pengembangan kurikulum ketika akan merencanakan dan mengembangkan
kurikulum lembaga pendidikan.
Ada beberapa
landasan utama dalam pengembangan sebuah kurikulum. Yaitu landasan filosofis,
psikologi, sosial budaya, dan perkembangan ilmu dan teknologi.
Salah satunya
adalah landasan filosofis. Sekolah tanpa filsafat laksanakan kapal tanpa kemudi.
Filsafat yang berbeda atau bertentangan di kalangan pendidikan tak akan membawa
bahtera pendidikan ke arah tujuan tertentu. Pada makalah ini, akan dibahas asas
filosofis yang mendasari sebuah kurikulim pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana asas filosofis yang mendasari kurikulum?
2.
Bagaimana pengaruh asas filosofis terhadap kurikulum pendidikan di
Indonesia?
PEMBAHASAN
A.
Asas Filosofis yang mendasari kurikulum
Sekolah
bertujuan mendidik anak agar menjadi manusia yang baik. Apakah yang dimaksud
dengan baik pada hakikatnya ditentukan oleh nilai-nilai, cita-cita atau
filsafat yang dianut negara, tapi juga guru, orang tua, masyarakat, bahkan
dunia. Perbedaan filsafat dengan sendirinya akan menimbulkan perbedaan dalam
tujuan pendidikan, jadi bahan pelajaran yang disajikan, mungkin juga cara
mengajar dan menilainya.[1]
Kurikulum
merupakan pedoman mendasar dalam proses belajar dan mengajar di dunia
pendidikan. Berhasil tidaknya suatu pendidikan, mampu tidaknya seorang anak
didik dan pendidik dalam menyerap dan memberikan pengajaran, dan sukses
tidaknya suatu tujuan pendidikan itu dicapai tentu akan sangat berpulang kepada
kurikulum.
Kurikulum
sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam
seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil
pendidikan. Mengingat pentingnya perananan kurikulum di dalam pendidikan dan
dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat
dikerjakan sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang
kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam.
Kalau landasan pembuatan gedung tidak kokoh, yang akan ambruk adalah gedung
tersebut, tetapi kalau landasan pendidikan, khususnya kurikulum yang lemah,
maka yang akan ambruk adalah manusianya.
Ada beberapa
landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum. Salah satunya yakni landasan
filosofis. Secara harifiah filosofis atau filsafat berarti “cinta akan
kebijakan” (love of wisdom). Orang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang
yang mengerti, dan berbuat secara bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan
berbuat secara bijak, ia harus tahu dan berpengalaman. Pengetahuan itu
diperoleh melalui proses berfikir, yaitu berfikir secara sistematis, logis, dan
mendalam. Pemikiran tersebut dalam filsafat sering disebut dengan pemikiran
radikal, atau berfikir sampai ke akar-akarnya. Secara akademik, filsafat
artinya upaya untuk menggambarkan atau menyatakan suatu pandangan yang
sistematis dan komprehensif mengenai alam semesta, dan kedudukan manusia di
dalamnya. Berfilsafat berarti menangkap sinopsis peristiwa-peristiwa yang
simpangan siur dalam pengelaman manusia. Suatu cabang ilmu pengetahuan mengkaji
satu bidang pengetahuan manusia, daerah cakupannya terbatas. Filsafat mencakup
keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat segala yang ada ini sebagai
satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba mengetahui kedudukan manusia di
dalamnya. Sering dikatakan bahwa filsafat adalah ibu dari segala ilmu.[2]
Falasafah dalam
arti sebenarnya adalah cinta akan kebenaran, yang merupakan rangkaian dari dua
pengertian, yakni philein (cinta) dan shopia (kebajikan). Dalam
batasan modern, filsafat diartikan sebagai ilmu yang berusaha memahami semua
hal yang muncul di dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia, yang berharap
agar manusia dapat mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis
menganai alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. Intinya manusia merupakan
bagian dari dunia.[3]
Falsafah
membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk masalah-masalah
pendidikan, walaupun dilihat sepintas, filsafat pendidikan ini hanya merupakan
aplikasi dari pemikiran-pemikiran dilosofis untuk memecahkan masalah-masalah
pendidikan, tetapi antara keduannya yaitu antara filsafat dan filsafat
pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat. Menurut Donald Butler, filsafat
memberikan arah dan metodologi terhadap praktik pendidikan, sedangkan praktik
pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan folosofis.
Keduanya sangat berkaitan erat, malah menurut Butler menjadi satu.[4]
Sebagai induk
dari semua pengetahuan (the mother of knowledge), filsafat dapat dirumuskan
sebagai kajian tentang:[5]
a.
Metafisik,yakni
studi tentang hakikat kenyataan atau realita
(Apakah
hakikat kenyataan atau realitas?)
b.
Epistimologis, yakni
studi tentang hakikat pengetahuan
(Apakah
hakikat pengetahuan?)
c.
Aksiologi, yakni
studi tentang nilai
(Apakah
hakikat nilai?)
d.
Etika, yakni studi
tentang hakikat kebaikan
(Apakah
hakikat kebaikan?)
e.
Estetika, yakni
studi tentang hakikat keindahan
(Apakah
hakikat keindahan?)
f.
Logika, yakni
studi tentang hakikat penalaran
(Apakah
hakikat penalaran?)
Pengembangan
kurikulum yang mempunyai posisi yang jelas tentang pertanyaan-pertanyaan
filosofid di atas telah memiliki dasar yang memungkinkannya mengambil keputusan
yang sehat dan konsisten akan tetapi dalam mengembangkan kurikulum ia tidak
hanya menonjolkan falsafah pribadinya, akan tetapi harus mempertimbangkan
falsafah negara, falsafah lembaga pendidikan serta staf pengajarannya.[6]
Dibawah ini
diberikan uraian singkat mengenai tiga falsafah yang harus dipertimbangkan
dalam asas kurikulum, antara lain
a.
Falsafah bangsa
Setiap negara
mempunyai suatu falsah atau pandangan pokok mengenai pendidikan. Kurikulum
harus memperhatikannya dalam pengembanganny agar dapat memelihara keutuhan
nasional. Namun ada pula golongan atau unit politik yang mempunyai pandangan
tertentu tentang pendidikan. Demikian pula tiap orang berkat pengalaman
masing0masing dapat mempunyai pandangan pribadi yang mungkin tidak sama
sepenuhnya dengan pendirian umum. Kesulitannya ialah bagaimana menggembleng
berbagai pandangan itu dalam satu kerangka pemikiran yang kosisten yang dapat
membantu proses pengembangan kurikulum yang dapat diterima oleh semua pihak.
Namun bagaimana
hakikat falsafah nasional, falsafah itu selalu harus dijadikan kerangka utama
yang mengendalikan penyelenggaraan lembaga-lembaga pendidikan di negara yang
bersangkutan dan oleh karena itu akan mempengaruhi semua keputusan dalam
pengembangan kurikulum.
b.
Falsafah lembaga pendidikan
Kita sebagai
warga negara Indonesia telah memiliki falsafah nasional yang tegas, yaitu
Pancasila, yang berfungsi sebagai pegangan bagi lembaga pendidikan untuk
pengembangan falsafah atau pendangan masing-masing sesuai dengan misi dan
tujuan nasional serta nilai-nilai masyarakat yang dilayaninya. Setiap lembaga
pendidikan mempunyai misi dalam rangka sistem pendidikan nasional, namun tiap
lembaga mempunyai di daerah lain. Demikian pula tiap fakultas atau jurusan
menunjukkan suatu kekhasan dalam pandangannya dan kareba itu mempunyai
pendekatan yang agak berbeda dalam pengembangan kurikulum serta penyelenggaraan
pendidikan. Jadi walaupun banyak persamaan diantara berbagai fakultas atau
jurusan, seperti juga halnya dengan sekolah, namun ada pula perbedaan vital dengan
fakultas, jurusan atau sekolah lainnya. Masing-masing bila ditinjau dari segia
metafisika, epistimologi, aksiologi, etika, estetika, dan logika.
Dalam
kebanyakan hal, falsafah suatu lembaga pendidikan (universitas, institut,
fakultas, jurusan maupun sekolah) jarang sekali dinyatakan secara spesifik dan
eksplisit dalam bentuk tertulis. Sering pula rumusan falsafah itu sedemikian
rupa umumnya sehingga tidak mampu memberikan arah yang jelas bagi proses
pengembangan kurikulum.
Dalam
merumuskan falsafah lembaga pendidikan secara tertulis, setidaknya harus
dicantumkan hal-hal sebagai berikut:
-
Alasan rasional tentang eksistensi lembaga pendidikan
-
Prinsip-prinsip pokok yang mendasarinya
-
Nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi
-
Prinsip-prinsip pendidikan mengenai hakikat anak-siswa, hakikat
proses belajar mengajar, hakikat pengetahuan
Dalam falsafah
lembaga pendidikan tidak dimasukkan pertanyaan operasional, atau hal-hal yang
spesifik. Tertentuk saja falsafah jurusan dan fakultas harus konsisten dengan
falsafah institut atau universitas yang selanjutnya harus konsisten denga
falsafah bangsa dan negara.
c.
Falsafah pengajaran/guru
Setiap guru
harus mempunyai gambaran yang jelas mengenai lembaga pendidikan tempat ia
bekerja. Sebaiknya falsafah guru sendiri konsisten dengan falsafah sekolah agar
ia dapat membimbing siswa ke arah tujuan pendidikan seperti dirumuskan dalam
kurikulum. Dalam pelaksaan kurikulum guru selalu terlibat dan karena itu
memasukan falsafah dalam perencaan, organisasi penyampaian pelajaran.
Pengembangan
kurikulum harus menyadari kemungkinan adanya berbagai macam falsafah yang
dianut para pengajaran. Ada empat aliran filsafat yang utama yakni idealisme,
realisme, pragmatisme dan eksistensialisme. Kurikulum atau pelaksanaannya yang
didasarkan atas salah satu aliran filsafat akan berbeda bila dipakai aliran
filsafat yang lain. Misalnya bila kita menganut aliran filsafat idealisme, maka
kita berusahan mencari kebenaran yang ditentukan oleh otoritas dari “atas”
dengan yang telah menemukan kebenaran “abadi” yang “tak lapuk oleh hujan dan
tak lekang oleh panas”, yang tahan terhadap “gerogotan” zaman.
Bila realismeri,
kita jadikan dasar pemikiran, maka ketika kita mencari kebenaran harus
didasarkan pada hukum alam dan karena itu terbuka bagi percobaan-percobaan
untuk mencari kebenaran baru.
Bila kita
berpegang pada pragmatisme, maka kebenaran kita pandang sebagai segala
sesuatu yang dapat memperbaiki hidup umat manusia dan karena itu menaruh
perhatian terhadap masalah-masalah sosial yang kritis yang mengancam
kesejahteraan manusia.
Dan akhirnya
bila kita seorang eksistensiialisme, maka kita mencari kebenaran sendiri
secara individual dengan mengadakan analisis diri serta mengembangkan
prinsip-prinsip internal dalam usaha untuk merealisasikan diri. Tidak ada orang
yang secara ekstrim berpegang pada salah satu aliran filsafat. Semua orang
menganut semua aliran itu dalam proporsi yang berlainan menurut situasi dan
kondisi masing-masing, mungkin dengan mengutamakan salah satu diantaranya.[7]
Pandangan
mengenai sesuatu yang baik dan berbagai aspek lainnya, tentu berbeda-beda
secara esensial berdasarkan aliran masing-masing. Dibawah ini dijelaskan
aliran-aliran filsafat yang dominan antara lain:
1.
Aliran Perennialisme
Airan ini
bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual anak melalui pengetahuan yang
“abadi, universal dan absolut” atau “perennial” yang ditemukan dan dicipatakan
para pemikiran unggul sepanjang masa, yang dihimpun dalam “the Great Books”
atau “Buku Agung”. Kebenaran dalam buku itu berthan tegus terhadap segala
perubahan zaman.[8]
Selain itu, tujuan hidup pada aliran ini adalah mencari matafisik spiritual melalui
inkuiri yang cermat, dengan cara mempelajari berbagai macam buku dari
penulis ulang yang telah menemukan kebenarannya.[9]
Kurikulum yang
diinginkan oleh aliran ini terdiri atas subjeet atau mata pelajaran yang
terpisah sebagai disiplin ilmu dengan menolak penggabungan seperti IPA atau
IPS. Hanya mata pelajaran yang sungguh mereka anggap dapat mengembangakan
kemampuan intelektual seperti matematika, fisika, kimia, biologi yang
diajarkan, sedangkan yang berkenaan emosi dan jasmani seperti seni rupa, olah
raga sebaiknya dikesampingkan. Pelajaran yang diberikan termasuk pelajaran yang
sulit karena memerlukan intelegensi tinggi. Kurikulum ini memberi persiapan
yang sungguh bagi studi di perguruan tinggi.[10]
2.
Aliran Idealisme
Filsafat ini
berpendapat bahwa kebenaran itu berasal dari “atas”, dari dunia supra-natural
dari Tuhan. Boleh dikatakan hampir semua agama menganut filsafat idialisme.
Kebenran dipercayai datangnya dari Tuhan yang diterima melalui bersifat mutlak.
Apa yang datang dari Tuhan baik dan benar. Tujuan hidup ialah memenuhi kehendak
Tuhan.
Filsafat ini
umumnya diterapkan di sekolah yang berorientasi religius. Semua siswa diharuskan
mengikuti pelajarn agama, menghadiri khotbah dan membaca Kitab suci. Biasanya
disiplin termasuk ketat, pelanggaran diberi hukuman yang setimpal bahkan dapat
dikeluarkan dari sekolah. Namun pendidikan intelektual juga sangat diutamankan
dengan menentukan standar mutu yang tinggi.
3.
Filsafat realisme
Filsafat
realisme mencari kebenaran di dunia ini sendiri. Keluarga pengamatan dan
penelitian ilmiah dapat ditemukan hukum-hukum alam. Mutu kehidupan senantiasa
dapat ditingkatkan melalui kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tujuan hidup pada aliran ini adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan
pemahaman manusia tentang jagad raya melalui penelitian ilmiah.
Sekolah yang
beraliran realisme mengutamakan pengetahuan yang sudah mantap sebagai hasil penelitian
ilmiah yang dituangkan secara sistematik dalam berbagai disiplin ilmu atau mata
pelajaran. Di sekolahan akan dimulai dengan teori-teori dan prinsip-prinsip
yang fundamentalm kemudian praktik dan aplikasinya.
Karena
mengutamakan pengetahuan yang esensial, maka pelajaran “embel-embel” seperti
keterampilan dan kesenian dianggap tidak perlu.
Kurikulum ini
tidak memeperhatikan minat anak, namun diharapkan agar menaruh minat terhadap
pelajar akademis. Ia harus sungguh-sungguh mempelajari buku-buku berbagai
disiplin ilmu. Penguasaan ilmu yang banyak berkat studi yang intensif adalah
persiapan yang baik-baiknya bagis lanjutan studi dan kehidupan dalam
masyarakat. Dapat dibayangkan banyaknya murid yang tidak mampu mengikuti studi
akademis serupa ini.[11]
4.
Aliran Pragmatisme
Aliran ini juga
disebut aliran instrumentalisme atau utilitarianisme dan berpendapatn bahwa
kebenaran adalah buatan manusia berdasarkan pengalamannya. Tidak ada kebenaran
mutlak, kebenaran akibat baik bagi masyarakat.[12]
Tujuan hidup menurut aliran ini adalah untuk mencari kebeneran sosial yang
menguntungkan bagi umat manusia dengan lingkungannya dengan menerapkan prinsip
falsafah sosial yang humanistik melalui trial and error. Kebenaran
dipandang sesuatu yang memeperbaiki hidup umat manusia, karenanya menaruh
perhatian terhadap masalah sosial yang kritis yang mengancam kesejahteraan
manusia.[13]
Tugas guru
bukan mengajarkan dalam arti menyampaikan pengetahuan, melainkan memberi
kesempatan kepada anak untuk melakukan berbagai kegiatan guna memecahkan
masalah, atas dasar kepercayaan bahwa belajar itu hanya dapat dilakukan oleh
anak sendiri, bukan karena “dipompakan ke dalam otaknya”. Yang penting ialah
bukan “what to think” melainkan “how to think” yaknik melalui pemecahan
masalah. Pengetahuan diperoleh bukan dengan mempelajari mata pelajaran,
melainkan karena digunakan secara fungsional dalam memecahkan masalah.
Aliran
pragmatisme sering sejalan dengan aliran rekonstruksionisme yang
berpendiriran bahwa sekolah harus berada pada garis depan pembangunan dan
perubahan masyarakat. Sekolah ini menjauhi indokrinasi dan mengajak siswa
secara kritis menganalisi isu-isu sosial.
Dalam
perencanaan kurikulum orangtua dan masyarakat sering dilibatkan agar dapat
memadukan sumber pendidikan formal dengan sumber sosial, politik, dan ekonomi
guna memperbaiki ekonomi kondisi hidup manusia. Banyak di antara penganut
aliran ini memandang sekolah sebagai masyarakat kecil.[14]
5.
Aliran Eksistensialisme
Filsafat ini
mengutamakan individu sebagai, faktor dalam menentukan apa yang baik dan benar.
Norma-norma hidup hidup menentukan apa yang baik dan benar. Norma-norma hidup
berbeda secara individual dan ditentukan masing-masing secara bebas, namun
dengan pertimbangan jangan menyinggung perasaan orang lain. Tujuan hidup
menurut aliran ini adalah untuk menyempurnakan diri sesuai norma yang dipilih
sendiri secara bebas dapat merealisasikan diri.[15]
Sekolah yang
berdasarkan eksistensialisme mendidik anak agar ia menentukan pilihan dan
keputusan dengan menolak otoritas orang lain. Ia juga bebas berpikir dan
mengambil keputuasan sendiri secara bertanggungjawab. Sekolah ini menolak
segala kurikulum, pedoman, intruksi, buku wajib, dan lain-lain dari pihak luar.
Anak harus mencari identitasnya sendiri. Dengan sendiriannya mereka tidak
dipersiapkan untuk menempuh ujian nasional.
Dari segala
mata pelajaran, mungkin ilmu-ilmu sosial yang oaling manarik mereka. Pendidikan
moral tidak diajarkan kepada mereka, juga tidak ditetapkan aturan-aturan yang
harus meraka patuhi. Bimbingan yang diberikan sering bersifat non-directive,
dimana guru banyak mendengarkan dan mengajukan pertanyaan tanpa mengingatkan
apa yang harus dilakukan anak.
Cicero memandang filsafat sebagai ilmu tentang hal-hal yang
semuluk-muluknya. Filsafat ialah “induk segala ilmu”. Tujuan filsafat ialah
membentuk suatu pandangan yang sistematis tantang keseluruhan ilmu. Ini berarti
bahwa seorang ahli filsafat harus dapat mencernakannya dan mengasimilasikannya
berkat proses yang disebut berpikir. Pekerjaan ini sangat sulit dan tak mungkin
dilakukan oleh orang biasa. Ilmu pengetahuan dewasa ini sangat luas dan pelik
dan tak mungkin lagi bagi seorang untuk menguasainnya, bahkan satu cabang
disiplin ilmu sekalipun sulit dikuasai sepenuhnya. Dalam arti ini, tak mungkin
setiap orang mempunyai filsafat, maka kata itu digunakan dalam arti yang
berlainan, yakni sebagai “suatu sistem nilai-nilai”, suatu pandangan hidup.
Manusia telah menemukan tenaga atom berkat kemajuan ilmu pengetahuan, akan
tetapi bila ditanya, untuk apakah tenaga itu digunakan, untuk perang yang dapat
menghancurkan umat manusia atau untuk peningkatan kehidupan manusia, maka kita
memasuki lapangan nilai-nilai atau filsafat. Ilmu menemukan pengetahuan dan
teknologi, akan tetapi penggunaannya ditentukan oleh filsafat atau nilai-nilai.
Karena filsafat ditafsirkan
sebagai sistem nilai-nilai, apakah setiap orang dapat mempunyai suatu filsafat
sendiri? Filsafat dengan pengertian ini telah ada sejak ada manusia di bumi
ini, sejak Adam dan Hawa. Dalam arti ini filsafat bukanlah sesuatu yang maha
sulit dan pelik, melainkan sesuatu yang biasa yang dapat dimiliki setiap orang
yang berfikir dan mencoba menafsirkan makna dan nilai hidup bagi dirinya, dan
mencari suatu sistem nilai-nilai yang menjadi pegangannya dalam menghadapi
masalah-masalah dalam hidupnya dan dengan demikian memberi corak tertentu
kepada kelakuannya. Filsafat ialah pendapat yang sejujur-jujurnya tentang makna
hidup baginya.
Walaupun tiap
orang pernah berfikir tentang apa arti hidup ini baginya, belum tentu ia
dikatakan mempunyai suatu filsafat hidup. Sering seorang kurang sadar dan
kurang jelas mengetahui nilai-nilai apa yang dianutnya. Pandangan hidup kabar,
tak konsisten, tak berakar prinsip-prinsip yang jelas. Kelakuannya tidak
menunjukkan corak tertentu.
Filsafat ialah
sesuatu yang menunjukkan suatu sistem, yang dapat menentukan arah hidup dan
serta menggambarkan nilai-nilai apa yang paling dihargai dalam hidup seseorang.
Filsafat serupa inilah yang harus dimiliki setiap guru, setiap pendidikan, agar
dapat membantu anak membentuk pandangan hidup yang sehat. Dalam filsafat
gurulah terkadang gambaran tentang masyarakat yang akan dibangun, manusia
apakah yang harus dibentuk, kurikulum apakah yang akan digunakan. Tujuan,
metode, alat pendidikan, pandangan tentang anak, ditentukan oleh filsafat yang
dianutnya. Pendidikan yang diberikan berdasarkan filsafat tidak merupakan
rangkaian perbuatan mekanis yang lepas-lepas akan tetapi merupakan suatu
kebulatan mengarah kepada tujuan tertentu.[16]
6.
John Dewey
Ciri utama
filsafat Dewey adalah konsepsinya tentang dunia yang selalu berubah , mengalir,
atau on going-ness. Filsafat Dewey lebih berkenan dengan epistomologi
dan tekanannya pada proses berpikir. Proses berpikir merupakan satu dengan
pemecahan yang bersifat tentatif, antara ide dengan fakta, antara hipotesis
dengan hasil. Proses berfikir merupakan proses pengecekan dengan
kejadian-kejadian nyata.
Dewey sangat
menghargai peranan pengalaman sebagai dasar bagi pengetahuan dan kebijakan.
Pengalaman itu mencakup segala aspek kegiatan manusia, baik yang berbentuk
aktif maupun pasif. Penalaman selain sebagai sumber dari nilai. Karena
pengalaman selalu berubah, maka nilaipun juga berubah.
Pendidikan
menurut Jhon Dewey berarati perkembanagan sejak lahir hingga menjelang
kematian. Jadi juga berarti bahwa pendidikan merupakan kehidupan. Proses
pendidikan bersifat continue, merupakan reorganisasi, rekonstruksi, dan
pengubahan pengalaman hidup.
Pengalaman itu
bersifat aktif dan pasif. Pengalaman bersifat aktif berarti berusaha, mencoba,
dan mengubah. Sedangkan pengalaman pasif berarati menerima dan mengikuti saja.
Kalau kita mengalami sesuatu maka kita
berbuat. Sedangkan kalau kita mengikuti sesuatu, maka kita memperoleh akibat
atau hasil.
Tujuan
pendididkan diarahkan untuk mencapai suatu kehidupan yang demokratis.
Demokratis bukan dalam arti politik, melainkan merupakan cara hidup bersama
sebagai way of life, pengalaman dan komunikasi bersama. Tujuan
pendidikan merupakan usaha atau individu melanjutkan pendidikannya. Tujuan
pendidikan terletak pada proses pendidikan itu sendiri, yakni kemampuan dan
keharusan induvidu itu sendiri untuk meneruskan perkembanagannya.
Pendidikan sama
dengan pertumbuhan. Syarat pertumbuhan adalah adanya kebelumdewasaan
(immaturity), yang berarti kemampuan, Untuk berkembang. Ini menunjukan bahwa
anak adalah hidup, ia memiliki semangat untuk berbuat.pertumbuhan bukan sesuatu
yang harus kita berikan, pertumbuhan adalah sesuatu yang harus mereka lakukan
sendiri. Ada dua sifat immaturity, yakni kebergantungan dan berarti kemampuan
untuk menyatakan hubungan sosial. Sedangkan plastisitas mengandung pengertian
kemampuan untuk berubah, bersikap aktif mengubah lingkungan.
Dalam
penyusunan bahan ajar menurut Dewey handaknya memperhatikan syarat-syarat
sebagai berikut:
a.
Bahan ajaran hendaknya konkret, dipilih yang betul-betul berguna
dan dibutuhkan, dipersiapkan secara mendetail dan sistematis.
b.
Pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil belajar, hendaknya
ditempatkan pada kedudukan yang berarti, yang memungkinkan dilaksanakannya
kegiatan baru, dan kegiatan yang lebih menyeluruh.
Bahan pelajaran
bagi anak tidak bisa semata-mata diamabil dari buku pelajaran, yang
diklasifikasikan dalam mata pelajaran yang terpisah-pisah. Bahan pelajaran
harus berisikan kemungkina-kemungkinan yang mendorong siswa untuk giat dan
berbuat. Bahan pelajaran harus memberikan rangasangan pada untuk bereksperimen.
Bahan pelajaran tidak diberikan dalam disiplin ilmu yang ketat, tetapi
merupakan kegiatan yang berkenaan dengan sesuatu masalah (problem).
Peranan guru
bukan hanya berhubungan dengan mata pelajaran, melainkan dia harus menempatkan
dirinya dalam seluruh interaksinya dengan kebutuhan, kemampuan, dan kegiatan
sisiwa. Guru juga harus dapat memilih bahan-bahan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan lingkungan.[17]
B.
Pengaruh Asas Filosof Terhadap Kurikulum Pendidikan Di Indonesia
Perana
filsafat dalam bidang pendidikan berkaitan dengan hasil kajian tentang:
a.
Keberadaan dan kedudukan manusia sebagai makhluk di dunia ini
sebagai zoon politicon, homo sapiens, dan sebagainya.
b.
Masyarakat dan kebudayaannya.
c.
Keterbatasan manusia sebagai makhluk hidup yang banyak menghadapi tantangan.
d.
Perlunya landasan pemikiran, dalam pekerjaan pendidikan.[18]
Bangsa
Indonesia baru memiliki filsafat umum dan filsafat negara, yaitu pancasila.
Sebagai filsafat negara, pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi
semangat dalam berkarya pada segala bidang, dan mewarnai segala bidang
kehidupan. Secara konsep memang seharusnya demikian, tetapi dalam praktek cukup
sulit hal itu dilaksanakan, karena tindakan manusia dalam praktek kahidupan
sehari-hari perlu ditanamkan, dikembangkan, dan dibiasakan sejak kecil. Hal ini
berarti erat kaitannya dengan pelaksaan pendidikan.
Pembahasan landasan kependidikan dalam segi
filsafat, filsafat kependidikan internasional, filsafat pancasila, dan
kemungkinan terbentuknya filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia, memberi
dampak konsep tertentu. Karena filsafat pendidikan yang cocok dengan alam dan
buadaya Indonesia belum terbentuk, baru filsafat negara yaitu pancasila, maka
tidak hanya konsep pendidikan yang bisa diturunkan dari sini. Memang benar ada
sejumlah fisafat pendidikan internasional yang sudah tentu berdampak terhadap
pendidikan, namun filsafat itu tidak mesti seluruhnya cocok bila diterapkan di
indonesia.
Pembangunan di
bidang pendidikan di dasarkan atas falsafah pancasila, dan diarahkan untuk
membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan
dan keterampilan, mampu mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, mampu
mengembangkan kecerdasan yang tinggi, dan disetai budi pekerti yang luhur,
mencintai bangsa dan sesama manusia, sesuai ketentuan yang termaktub dalam UUD
1945.[19]
KESEIMPULAN
Kurikulum
merupakan pedoman mendasar dalam proses belajar dan mengajar di dunia
pendidikan. Berhasil tidaknya suatu pendidikan, mampu tidaknya seorang anak
didik dan pendidik dalam menyerap dan memberikan pengajaran, dan sukses
tidaknya suatu tujuan pendidikan itu dicapai tentu akan sangat berpulang kepada
kurikulum.
penyusunan
kurikulum tidak dapat dikerjakan sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan
landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan
penelitian yang mendalam. Salah satunya adalah landasan filosofis.
Falsafah
membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk
masalah-masalah pendidikan, walaupun dilihat sepintas, filsafat pendidikan ini
hanya merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan
masalah-masalah pendidikan, tetapi antara keduannya yaitu antara filsafat dan
filsafat pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamalik Oemar. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja
Rosdakarya
www.Mahendraracollage. Blospot. Com. Diakses tanggal 05 Maret 2016.
Furchan Arief. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta: 2005,
Nasution. Asas-asas kurikulu. Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Dakir. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta:
Rineka Cipta, 2004
Maunah Binti. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Yogyakarta:
Teras, 2009
Nasution. Kurikulum & Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara,
2006
Sukmadinata Syaodia Nana. Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997
idi Abdullah. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2007
[1] Nasution, Asas-asas kurikulum, (Bumi Aksara: Jakarta. 1995), 11
[2] Nana Syaodia Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik,
(Remaja Rosdakarya: Bandung. 1997), 34-40
[3] Abdullah idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Ar-Ruzz
Media: Yogyakarta. 2007) 68
[4] Nana Syaodia Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik
[5] Abdullah idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik
[6] Nasution, Kurikulum & Pengajaran, (Bumi Aksara: Jakarta.
2006), 14-15
[7] Binti Maunah, Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Teras:
Yogyakarta. 2009), 8-11
[8] Nasution, Asas-asas kurikulum, 23
[9] Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, (Rineka Cipta:
Jakarta. 2004), 73-74
[10] Nasution, Asas-asas kurikulum, 23
[11] Nasution, Asas-asas Kurikulum, 24
[12] Nasution, Asas-asas kurikulum, 24
[13] Dakir, Perencaan dan Pengembangan Kurikulum, 74
[14] Nasution, Asas-asas kurikulum, 24-25
[15] Dakir, Perencaan dan Pengembangan Kurikulum, 74
[16] Nasution, Asas-asas kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999)
24-27.
[17] Nana Syaodia Sukmadinata, Pengembangan kurikulum Teori dan Praktik,
40-44
[18] www.Mahendraracollage.
Blospot. Com. Diakses tanggal 05 Maret 2016
[19] Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Remaja
Rosdakarya: Bandung), 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar